![]() |
| congerdesign from Pixabay |
“AKU merinding tiap kali
berada di dekatmu,” Seo Yun menatap Kim Jong Hyun sekilas. Lalu kembali sibuk
mengerjakan tugasnya yang belum selesai. Dia tahu setelah itu mata tajam pemuda
itu langsung menatapnya. Tapi dia tidak peduli.
“Apa
yang kau katakan barusan?” Tanya Kim Jong Hyun, ia duduk tepat di samping gadis
yang barusan mengatakan sesuatu padanya. Meskipun ia yakin ucapan itu tidak
baik. Tapi Seo Yun, teman sekelasnya itu tidak mengacuhkannya sama sekali.
Gadis itu tetap sibuk mengerjakan tugas. Dengan gemas ditariknya kursi Seo Yun
sampai gadis itu menghadap ke arahnya.
“Apa-yang-kau-katakan-barusan?”
Jong Hyun mengulangi pertanyaannya sekali lagi, ditatapnya mata cokelat milik
Seo Yun lekat-lekat.
Dengan
wajah datar Seo Yun berkata, “Aku selalu
merinding tiap kali berada di dekatmu. Maka itu, menyingkirlah dari hadapanku.”
Jong
Hyun tercengang beberapa saat, kedua alisnya terangkat. Tapi kemudian dia
tersenyum.
“Aku
juga tidak pernah ingin berlama-lama di dekatmu. Bisa-bisa aku mati beku di
sini. Kau bahkan lebih dingin dari gundukan salju.” Katanya. Lalu mendorong
kursi gadis itu ke tempat semula. Jong Hyun berlalu menuju kursinya yang berada
di pojok kelas.
Teman-teman
sekelas mereka yang menyaksikan hal itu hanya bisa geleng kepala. Jong Hyun si
brandal memang selalu berseteru dengan Seo Yun si ketua kelas. Tak ada yang
bisa mendamaikan mereka. Tidak satu pun.
“Jong
Hyun-ya! Kau membuang sampah di dekat
mejaku! Cepat buang!” teriak Seo Yun sambil mendelik ke arah Jong Hyun. Tetapi
pemuda itu tidak mengacuhkannya.
“Kau
buang saja sendiri!”
Seo
Yun mendengus, dipungutnya sampah itu lalu dibuangnya ke tong sampah dengan
menyabarkan hati. Kejadian selanjutnya saat istirahat tiba bahkan lebih parah
dari itu, membuat Seo Yun tidak bisa lagi menyabarkan hatinya. Jong Hyun
kembali membuang sampah, kali ini tidak di dekat mejanya. Tapi di atas mejanya
langsung. Sampah itu berupa kantung snack yang masih berisi, isinya pun malah
sedikit tercecer keluar.
Seo Yun merasa kepalanya akan meledak. Dia lalu bangkit berdiri
sebelum pemuda itu berlalu dari sisinya. “YA!!
KAU BENAR-BENAR KETERLALUAN JONG HYUN! CEPAT BUANG SAMPAHMU!”
Jong Hyun menatap Seo
Yun datar. “Aku tidak membuangnya,” katanya, lalu berlalu ke luar kelas.
Soon Hee tertawa geli melihat Seo Yun yang masih cemberut
menatap kepergian Jong Hyun. Dia mengambil beberapa iris snack yang ada di atas
meja temannya itu lalu memakannya. “Kau tidak juga mengerti ya? Seo Yun-ah… Jong Hyun-ssie menyukaimu.”
Leher Seo Yun berputar cepat ke arah Soon Hee. “Diam kau,
aku tidak butuh komentarmu.”
Soon Hee tertawa geli lagi. “Sampai tua pun kurasa kau
tidak akan pernah punya pacar jika tetap galak seperti itu.”
Seo Yun hanya memutar bola matanya. Setelah itu matanya
kembali terjun ke novel yang sedang dibacanya tadi. Dia tidak peduli pada
ucapan Soon Hee. Yang benar saja! Jong Hyun tidak akan pernah menyukainya. Sejak
bertemu pemuda itu, mereka tidak pernah akur. Satu kali pun. Selalu saja
berselisih paham. Lagipula Jong Hyun sama sekali tidak terlihat seperti sedang
menyukainya, malah sebaliknya. Dari tatapan matanya saja Seo Yun tahu, Kim Jong
Hyun membencinya. Ya, benar. Dia pasti tidak salah.
***
Bel pulang baru
menjerit beberapa waktu lalu, tapi hampir seluruh siswa di kelas Seo Yun sudah tidak
terlihat batang hidungnya. Hanya tersisa seseorang selain dirinya di kelas saat
itu. Seseorang yang selalu membuatnya ingin marah-marah.
Diam-diam Seo Yun melirik Jong Hyun di kursinya. Pemuda
itu ternyata sedang duduk bersandar ke dinding dengan kedua kaki terjulur ke
atas meja, sebuah sapu tangan menutupi wajahnya. Sepertinya dia sedang tidur.
Seo Yun menggelengkan kepalanya. Dia segera bergegas meninggalkan kelas sebelum
pemuda sinting itu membuatnya marah-marah lagi.
Sepanjang
koridor kelas terlihat sepi, hanya ada beberapa siswa yang masih bertahan di
sekolah untuk mengerjakan tugas kelompok atau hanya sekedar mengobrol. Seo Yun
berbelok di tikungan kedua untuk menuruni tangga, saat baru akan menginjak anak
tangga paling atas tiba-tiba seseorang memegang bahunya. Membuat jantungnya
nyaris mencelat ke luar.
Seo
Yun terkejut sampai-sampai kehilangan keseimbangan. Tangannya meraih-raih
sesuatu dan akhirnya ia bertopang pada selusur tangga. Gadis itu menoleh ke
belakangnya, sesaat kemudian dia terbelalak.
"Apa
yang kau lakukan? Kau nyaris membunuhku!"
Kim
Jong Hyun terbelalak, "Ti-tidak! Aku tidak bermaksud seperti itu!"
tangannya terulur hendak meraih tangan Seo Yun, tapi gadis itu menolak.
"Tadi
kau ingin mencelakaiku, kan? Jika tidak berpegangan, maka aku akan jatuh
terguling dan mati!" teriak Seo Yun. Setelah itu ia memutar badan dan
menuruni tangga secepat kilat.
Astaga!
Kim Jong Hyun ingin membunuhnya! Entah dari mana pikiran itu bisa merasuki otak
Seo Yun. Tapi melihat tatapan mata Jong Hyun tadi saat di depan anak tangga,
rasanya tidak mustahil. Demi Tuhan, jika tadi Seo Yun tidak berhasil meraih
selusur tangga, dia yakin dirinya akan mati. Memikirkan hal itu kembali saja
rasanya membuat Seo Yun nyaris mati ketakutan. Berulang kali dia menoleh ke
belakang, takut jika pemuda itu berusaha mengikutinya.
Tapi
ternyata perkiraannya salah. Kim Jong Hyun tidak mengikutinya. Seo Yun menghela
napas lega sejenak, meskipun ia merasa sekujur tubuhnya masih gemetar
ketakutan. Entahlah, esok akan seperti apa dia bersikap pada pemuda itu. Yang
pasti dia tidak akan bisa menutupi rasa takutnya. Tidak akan pernah bisa.
***
Kim Jong Hyun tidak
datang ke sekolah hari ini. Seo Yun tertegun saat mendapati dirinya merasa
khawatir pada pemuda itu, sementara sisi lain hatinya masih merasa takut karena
kejadian kemarin. Berkali-kali dia menoleh ke arah kursi Km Jong Hyun di sudut
kelas paling belakang, namun pemuda itu tetap tidak terlihat sedang duduk malas
seperti biasa.
“YA! Kau
mengkhawatirkan Jong Hyun-ssie?” tiba-tiba
Soon Hee berteriak tepat di telinga Seo Yun, membuat gadis itu terlonjak kaget.
“Myo? Aku sama
sekali tidak mengkhawatirkannya!” Seo Yun memberengut. Dia kembali membaca
ensiklopedi di hadapannya, walau tidak ada kata yang berhasil dicerna satu pun.
Tapi begitu Choi Minho, salah satu teman sekelasnya mengumumkan berita perihal Kim Jong Hyun tidak
masuk hari itu, leher Seo Yun menoleh begitu cepat.
“Ada berita duka datang dari keluarga Kim Jong Hyun.
Putra mereka, Jong Hyun-ssie, kemarin
sore masuk rumah sakit. Dia termasuk korban dalam kecelakaan beruntun di Namsan
Park. Saat ini kondisinya sangat kritis…”
Seo
Yun merasa telinganya berdenging kencang, suara-suara di sekitarnya tiba-tiba
saja tidak tertangkap indera pendengarannya. Yang ada di benaknya sekarang
hanyalah, bagaimana bisa Kim Jong Hyun kecelakaan? Setelah kemarin pemuda itu
berusaha mencelakainya, dan sekarang justru dia yang mengalami kecelakaan. Mustahil.
Malamnya
Seo Yun merasa sedikit menyesal karena ketika Soon Hee dan Lee Taemin
mengajaknya menjenguk Kim Jong Hyun ke rumah sakit, dia malah menolaknya. Dengan
alasan sedang tidak enak badan. Padahal sebenarnya dia ingin sekali menjenguk
pemuda itu, ingin melihat sendiri dengan mata kepalanya bagaimana kondisi Kim
Jong Hyun saat ini. Tapi kejadian kemarin masih dengan jelas menghantuinya, Kim
Jong Hyun yang berusaha membunuhnya. Sejujurnya, dia yakin pemuda itu bukan
bermaksud mencelakainya, mungkin dia hanya salah paham. Hanya saja dia merasa
masih sangat takut. Entahlah.
Seo
Yun membuka jendela kamarnya lebar-lebar, udara malam yang sangat dingin masuk perlahan
ke dalam kamarnya, namun dia tidak peduli. Bulan bersinar terang saat itu. Seo
Yun merasa hatinya sesaat terasa tenang menatap pekarangan rumahnya yang
terkena bias cahaya bulan. Saat mendongak kembali ke arah langit, tiba-tiba Seo
Yun merasakan sesuatu yang sangat dingin menyentuh bahunya. Ia terlonjak kaget.
Buru-buru ia menoleh ke samping kiri dan kanan. Namun tidak ada apa-apa atau siapa-siapa. Detik berikutnya bulu kuduk
Seo Yun meremang.
“Jong
Hyun, kau-kah itu?” Seo Yun tertegun mendengar mulutnya sendiri mengucapkan
pertanyaan seperti itu. Bagaimana bisa dia berpikir Kim Jong Hyun ada di
kamarnya saat ini? Seo Yun menggeleng-gelengkan kepalanya, sepertinya otaknya
mulai tidak waras. Dia lalu beranjak naik ke tempat tidur dan berbaring di
sana.
***
Seo Yun menjerit
tertahan saat tahu-tahu kaca di sampingnya pecah dan berhamburan mengenainya
jika saja dia tidak buru-buru berlindung di bawah meja. Teman-teman sekelas
juga sama terkejutnya, mereka segera berhamburan menghampiri Seo Yun.
“Astaga! Kau tidak apa-apa?” Tanya Soon Hee dengan wajah panik,
dia berjongkok untuk melihat Seo Yun yang masih berlindung di bawah meja.
Dibantunya sahabatnya itu keluar dari sana.
“A-aku… aku nyaris mati… ada yang ingin mencelakaiku.”
ucap Seo Yun terbata-bata, tubuhnya masih gemetar ketakutan.
“Itu hanya ketidak-sengajaan, Seo Yun. Klub baseball
sedang latihan dan striker mereka meleset memukul bola.” Kata Kim Kibum yang
tahu secara detail detik-detik sebelum kaca jendela di kelasnya pecah.
“Mau
kuantar ke ruang UKS?” tawar Soon Hee, dia benar-benar cemas melihat kondisi
sahabatnya itu.
“Anniyeyo…” jawab Seo Yun sambil
menggelengkan kepala.
Pulangnya,
Seo Yun menolak lagi ajakan teman-teman sekelasnya untuk menjenguk Kim Jong
Hyun. Dia malah tetap bertahan di kelasnya. Entahlah, ia merasa ingin tinggal
lebih lama di sana. Diperhatikannya kursi Kim Jong Hyun di sudut kelas dengan
wajah hampa, biar bagaimana pun Seo Yun tetap mengkhawatirkannya. Tapi kejadian
tadi pagi sempat membuatnya berpikir kalau hal itu ada hubungannya dengan....
Astaga!
Mungkin saja itu perbuatan Kim Jong Hyun yang ingin mencelakainya.
Saat ini mungkin ‘arwah’ pemuda itu sedang bergentayangan untuk balas dendam.
Balas dendam karena selama ini Seo Yun selalu marah-marah dan bersikap buruk
padanya. Demi Tuhan, pemikiran itu membuatnya takut setengah mati.
Tiba-tiba Seo Yun merasa bulu
kuduknya berdiri. Refleks ia menoleh ke kursi Kim Jong Hyun yang ada di pojok
kelas. Entah dari mana datangnnya keyakinan itu, tetapi Seo Yun yakin saat ini
‘Kim Jong Hyun’ ada di kelasnya ini, bersamanya. Dan ingin… mencelakainya.
Dengan gerakan cepat Seo Yun merapihkan alat tulis dan buku-bukunya kemudian
berdiri sambil memakai ranselnya. Dia berlari keluar kelas dan ingin secepatnya
sampai di rumah. Tapi saat baru akan menuruni tangga, Seo Yun merasa tubuhnya
limbung, ia kehilangan keseimbangan.
Seo Yun jatuh terguling menuju
lantai dasar. Ia merasa sekujur tubuhnya sakit karena menghantam anak tangga
yang terbuat dari keramik. Disekanya darah yang keluar dari hidungnya. Ia
menatap berkeliling, seolah-olah bisa ditemukannya ‘Kim Jong Hyun’ di sana. Seo
Yun merasakan air matanya jatuh bergulir.
“A-aku… mohon… kau jangan
mencelakaiku, Jong Hyun…” katanya serak. Tapi tidak ada siapa-siapa di
sekitarnya saat itu. Setelah merasa sedikit tenang dan air matanya berhenti
mengalir, dengan terpaksa meskipun sakit Seo Yun memaksakan tubuhnya untuk berdiri
dan berjalan pulang.
***
Melalui celah jendela, Seo Yun bisa melihat tubuh
itu terbaring tak berdaya. Ada beberapa lilitan perban di bagian tertentu, sementara
tampak di lehernya terpasang sebuah penyangga. Tanpa sadar, Seo Yun menangkup
mulutnya dengan telapak tangan.
Ada kesedihan yang perlahan
menjalari hatinya, kemudia rasa itu menjadi nyata saat kemudian air matanya
mengalir tanpa bisa dicegah. Hampir satu minggu Kim Jong Hyun dirawat di rumah
sakit dalam keadaan koma, tapi baru kali pertama ini Seo Yun menjenguknya. Dan
ternyata keadaan pemuda itu benar-benar kritis.
Setelah keyakinannya terkumpul dan memastikan bahwa dirinya sanggup
mendekati pemuda itu, Seo Yun perlahan berjalan masuk. Matanya yang masih
sembab terpaku lurus ke wajah Kim Jong Hyun yang tertidur dalam damai. Kembali
rasa sedih itu menjalari hatinya dan kali ini ia sama sekali tak mencegah air
matanya untuk jatuh bergulir.
“Kau ketua kelasku? Kuharap
kau tidak akan galak-galak padaku. Sebab, kau cantik.”
Tiba-tiba saja kenangan itu
menyeruak hadir di mata Seo Yun, saat pertama kalinya ia bertemu dengan Kim
Jong Hyun. Saat itu ia sedang berdiri di depan pintu untuk masuk ke dalam kelas,
sementara Kim Jong hyun sebaliknya, berjalan keluar kelas. Pemuda itu berniat
bolos jam pelajaran pertama. Tanpa bisa menahan dirinya sendiri, Seo Yun
mengulurkan tangannya menarik seragam pemuda itu. Kim Jong Hyun menoleh.
“Kalau begitu kau harus menuruti perintahku. Cepat masuk kelas.” Seo
Yun mengira pemuda itu akan melawan, tapi ternyata… Kim Jong Hyun malah
tersenyum. Lalu mereka masuk ke kelas bersama.
Sejak saat itu, sebrandal apa-pun
Kim Jong Hyun, tapi menurut Seo Yun pemuda itu berusaha mematuhi semua
perintahnya. Misalnya tidak lagi datang terlambat, tidak lagi bolos mata
pelajaran apa-pun, mau mengerjakan tugas piket ataupun membantu Seo Yun saat
disuruh oleh guru.
Tapi beberapa hari terakhir sikap
Kim Jong Hyun kembali ke sedia kala. Pemuda itu jadi sering bolos mata
pelajaran atau malah tidak masuk sekolah beberapa hari tanpa keterangan. Dia
juga mulai tidak mau mengerjakan tugas piket dan datang terlambat. Suatu kali
Seo Yun meminta bantuan pemuda itu untuk mengangkat sebuah Bola Dunia dari ruang
guru, dia menolaknya tanpa berkata apa-apa. Seo Yun jelas jadi sangat kesal
padanya. Gadis itu jadi sering marah-marah pada Kim Jong Hyun.
Walaupun Seo Yun sering marah-marah,
sering berkata ketus, atau suka memerintah seenaknya, sebenarnya itu semua dia
lakukan supaya dekat dengan Kim Jong Hyun. Hanya ingin mereka tetap
berkomunikasi, meskipun secara negatif. Entah untuk alasan apa.
Pernah suatu ketika, Seo Yun
terkena flu di musim dingin. Dia bersin-bersin sepanjang hari di kelas, dan
lupa membawa muffler atau apalah,
agar dirinya tidak terlalu kedinginan. Tanpa berkata apa-apa, Kim Jong Hyun
saat itu langsung melepas jaketnya di depan Seo Yun. Saat ditanya Soon Hee
kenapa dia melepas jaketnya itu, Kim Jong Hyun hanya berkata,
“Rasanya sedikit panas, aku
keringatan.” Padahal bibir pucatnya sama sekali tidak bisa berbohong kalau dia
pun sedang kedinginan.
Terlalu banyak hal-hal kecil yang
Kim Jong Hyun lakukan, tapi berdampak besar bagi Seo Yun. Pemuda itu memang
terlihat cuek, namun sebenarnya sangat baik hati. Tak ada yang sepertinya
selama ini. Atau setidaknya begitulah menurut Seo Yun. Dan, bagaimana bisa Seo
Yun menyangka pemuda itu ingin mencelakainya beberapa hari yang lalu?
Seo Yun mendesah, merasa begitu
bodoh sekarang. Ia duduk di samping pembaringan Kim Jong Hyun. Menatap wajah
pemuda itu lebih lama lagi. Ada luka memar di pipi kirinya. Tanpa sadar tangan
Seo Yun terangkat untuk kemudian menyentuh luka itu dengan telunjuknya. Seolah
mengusapnya penuh sayang, tapi tidak ingin menyakiti. Dia sempat bertanya pada
dokter yang menangani Kim Jong Hyun, katanya pemuda itu tidak mengalami luka
serius di tubuhnya. Hanya saja ia mengalami koma, sama sekali tidak diprediksi
kapan ia akan bangun lagi. Atau bisa jadi tidak akan pernah bangun lagi.
Mengingat itu, rasanya Seo Yun
ingin menjerit. Ketakutan yang perlahan menyergapnya benar-benar membuat
tubuhnya mati rasa. Lebih dari rasa takutnya akan dicelakai Kim Jong Hyun
seperti pikirannya beberapa hari yang lalu sekali pun. Bahkan, jika pemuda itu
tidak akan pernah bangun lagi, Seo Yun merasa dicelakainya adalah hal yang
menyenangkan, jika memang itulah satu-satunya cara untuk bertemu Kim Jong Hyun
dan mengucapkan kata maaf.
Seo Yun tidak bisa lagi menahan
air matanya menjadi isak tangis. Disurukkannya wajahnya di samping pembaringan
Kim Jong Hyun.
“Jong Hyun pabbo,… bangun… kau tidak boleh terus-terusan tidu,” Seo berkata
lirih di sela tangisnya. Berharap keajaiban datang atau apalah, sehingga pemuda
di dekatnya ini bangun dan membuatnya marah-marah. Tapi tidak ada yang terjadi. Dia angkat kembali wajahnya
untuk menatap wajah Kim Jong Hyun.
“Maafkan aku… karena telah
menuduhmu sembarangan…” katanya lagi. “Kau harus bangun… sebab jika tidak, kau
harus janji akan membunuhku ya.”
Perlahan, Seo Yun mengulurkan
tangannya meraih tangan Kim Jong Hyun yang terkulai lemah. Beberapa jarum infus
tertancap di sana. Rasanya pasti sakit, pikir Seo Yun. Ia lalu menggenggam
tangan pemuda itu, menjadikannya satu dalam genggaman tangannya sendiri.
Didekatkannya tangan mereka ke dagunya, dan menempelkannya di sana.
Lirih Seo Yun berkata, “Saranghae…”

No comments:
Post a Comment