Masih inget, kan? Gue pernah cerita tentang kecintaaan pertama kali gue terhadap SHINee dimulai saat gue lagi menggandrungi salah satu novel karya Ilana Tan. Oke, mungkin dua hal itu nggak ada kaitannya sama sekali. Intinya, gue suka dua-duanya.
Kali ini gue mau bahas tentang tetralogi 4 musim karya Ilana Tan, yang alhamdulilah, udah gue baca semua. hehehe. Oya, ada satu lagi karya dia yang baru tahun 2011 kemarin terbit. Judulnya "Sunshines Becomes You". Dan harus gue akuin, semua karya dia bikin gue iri setengah mati, dalam hal ini positif sih.
 |
| Karya pertama Ilana Tan yang gue baca, Spring In London. |
Gue langsung ngefans begitu baca Spring In London pertama kali semasa SMA, gue pikir si penulis ini pinter banget ngerangkum hal-hal manis dan dia curahkan sesimple mungkin ke para pembaca. Tapi memberi kesan seolah-olah pembaca sendiri yang ngalamin hal-hal manis itu.
Tokoh utama cowok di novel ini namanya Danny Jo, seorang bintang iklan paling diminati di Korea Selatan walaupun impiannya adalah menjadi sutradara video musik. Sementara tokoh utama ceweknya bernama Naomi Ishida, seorang foto model terkenal di Jepang. Naomi ini punya adik kembar bernama Keiko Ishida (tokoh utama di Winter In Tokyo). Naomi takut banget sama cowok, dia punya masa lalu yang gelap, yang bahkan sampai mati pun bakal terus dia ingat, andai nggak ada Danny Jo yang nolongin dia untuk pulih dari phobianya itu. Meski Naomi sebenarnya sulit menatap Danny, sebab dia adalah orang yang secara nggak langsung berhubungan sama masa lalunya. Gue speechles waktu Danny ngomong begini ke Naomi,
"
Pada saat kita bertemu lagi nanti, kalau perasaanmu masih belum berubah,
kalau kau masih merasa sulit percaya padaku, kalau kau tidak mau melihatku lagi,
tidak mau berurusan denganku lagi, kau hanya perlu mengatakannya dan aku akan
menuruti apa pun yang kaukatakan."
 |
| Buku kedua yang gue baca. |
|
|
Gue semakin menggila terhadap karya Ilana Tan dan akhirnya berhasil baca novel selanjutnya. Summer In Seoul. Wah, kalo yang satu ini, dari cover dan judulnya aja udah bikin gue mupeng banget. hehehe. it's about Seoul! Salah-satu ibukota Negara yang pengen banget gw kunjungin (Amin!).Di novel ini, tokoh utama cowoknya bernama Jung Tae Wo, seorang penyanyi terkenal di Korea Selatan. Doi ini temannya Danny Jo (unik kan? Ilana Tan bikin cerita yang tokoh-tokohnya saling berkaitan). Sementara tokoh ceweknya berasal dari keturunan Indonesia-Korea dengan nama Han Soon Hee atau Sandy dalam bahasa Indonesia. Mereka nggak sengaja bertemu karena sebuah insiden, yang mengharuskan Sandy pura-pura jadi pacar Jung Tae Wo. Jung Tae Wo sendiri dianggep gay karena selama popularitasnya di dunia entertain nggak pernah punya pacar.
"Dulu kalau aku tak begitu, kini bagaimana aku?
Dulu kalau aku tak di situ, kini di mana aku?
Kini kalau aku begini, kelak bagaimana aku?
Kini kalau aku di sini, kelak di mana aku?
Tak tahu kelak ataupun dulu
Cuma tahu kini aku begini
Cuma tahu kini aku di sini
Dan kini aku melihatmu"
Di atas itu, adalah salah satu qoutes yang gue suka. Yups, kalimatnya sederhana, tapi ngena banget. Gue jadi berpikir kalo dunia tulis-menulis itu sama sekali nggak ada ujungnya. Nggak terbatas. Selain itu gue suka banget saat Jung Tae Wo ngomong gini sewaktu Sandy terbaring di rumah sakit karena kecelakaan lalu lintas.
“Sudah lama tidak melihatmu. Kau tahu, aku hampir melupakan wajahmu. Kalau aku sampai lupa bagaimana wajahmu, aku tidak bakal bisa melakukan apa pun lagi. Kau tahu kenapa? Karena aku akan terlalu sibuk berusaha mengingat wajahmu sampai-sampai tidak mampu memikirkan masalah lain. Gawat, kan?” Jung Tae Wo membelai pipi Sandy dengan ujung jemarinya. “Sekarang setelah melihatmu, aku baru ingat. Ah, benar... Matamu seperti ini... hidungmu seperti ini... mulutmu... dahimu... dan rambutmu.” Ia menggenggam tangan gadis itu dengan lembut. “Kenapa aku bisa lupa wajahmu?” Tae-Woo mendesah. “Ingatanku memang buruk, aku tahu. Menurutmu aku harus bagaimana? Menurutku, aku harus melihatmu setiap hari supaya tidak lupa. Itu artinya kau harus selalu di sisiku, bersamaku. Bagaimana?”
Terus, di akhir cerita dijelasin kenapa Jung Tae Wo menyimpan nomor telepon Sandy di nomor sembilan. “Dalam bisbol ada sembilan pemain. Kurang satu saja tidak bisa. Sembilan artinya lengkap. Kenapa aku menyimpan nomor Sandy di nomor sembilan? Itu karena kalau dia ada, aku baru merasa benar, merasa lengkap. Dia nomor sembilanku.”
 |
| Buku ketiga. Favorit gue!^^ |
Awalnya gue biasa-biasa aja baca novel Winter In Tokyo. Tapi makin gue baca, kok makin kecanduan? Apalagi waktu bacanya sambil dengerin lagu Hello-nya SHINee. Ya ampun, gue semakin gila. Entah kenapa gue ngebayangin sosok Nishimura Kazuto (tokoh utama cowoknya) sebagai Kim Jonghyun (salah satu member SHINee). Padahal menurut kenegaraan, mereka berdua sama sekali nggak cocok. Terus siapa sosok tokoh utama ceweknya, Keiko Ishida? Tentu aja gue ngebayangin diri gue sendiri. hehehe :p
Keiko ini kembaran Naomi Ishida. Mulanya dia tipe gadis yang ceria, lucu, pinter. Tapi karena suatu hal dia jadi trauma sama gelap dan sendirian. Dia bete karena punya saudara kembar model terkenal, jadi bikin dia diikutin stalker ke mana-mana. Kehadiran Kazuto di hidupnya mengubah segalanya. Cowok itu pindah ke apartemen di depannya karena pengen ngelupain masa lalu.
Keiko udah lama nyari cinta pertamanya yang dia temui saat masih sekolah dasar, nama cowok itu Kitano Akira. Sampai akhirnya dia tahu, dia salah mengenali nama cinta pertamanya itu. Inti ceritanya, Kazuta ngalamin lupa ingatan karena dihajar sama stalker yang bikin Keiko trauma. Tapi justru disaat dalam keadaan lupa ingatan itu, Kazuto kembali jatuh cinta saat ngeliat Keiko Ishida untuk pertama kalinya. Dan rasa cinta dia semakin dalam. Yups, manis kan? Dan di akhir cerita, gue bener-bener speechels karena Ilana Tan bikin kejutan yang bahkan nggak gue duga dari awal. Begini cuplikannya,
CAHAYA matahari yang silau membuat mata Kazuto menyipit ketika menatap anak perempuan
yang sedang berjongkok dan mengorek-ngorek tanah bersalju dengan ranting di samping
gedung sekolah. Sepertinya anak itu sedang mencari sesuatu. Sesekali ia meniup tangannya
yang tidak bersarung tangan. Dan sepertinya ia juga sedang menangis. Kazuto kembali menatap anak perempuan itu. Teman-temannya belum kembali. Daripada
melamun saja, mungkin ia bisa membantu anak itu.
Kazuto membetulkan letak topi wol birunya dan menghampiri anak itu. “Sedang apa?”
tanyanya.
Anak perempuan itu mendongak. Matanya menyipit menatap Kazuto. Dari dekat, Kazuto
menyadari rambut panjang anak itu yang diikat ekor kuda terlihat agak miring dan ada sedikit
noda tanah di pipinya yang kemerahan. Kazuto juga baru tahu anak itu tidak sedang menangis
seperti yang diduganya tadi, tetapi anak itu memang hampir menangis. Matanya terlihat berkaca-kaca.
Setelah ragu sejenak, anak perempuan itu bergumam pelan, “Mencari sesuatu.”
“Mencari apa?”
“Kalung.” Lalu anak perempuan itu kembali menunduk dan mengorek-ngorek tanah.
Kalung? Tanpa bertanya lebih jauh, Kazuto pun ikut mencari. Ia baru mulai berlutut ketika
sudut matanya menangkap sesuatu yang berkilau. Ia memungut benda itu dan mengamatinya.
Kalung itu kalung yang sederhana, tetapi indah, dengan liontin berbentuk tulisan “Keiko”. Nama anak itukah?“Namamu Keiko?” tanyanya.
Anak itu menoleh ke arahnya. “Ya.” Nada suaranya terdengar ragu-ragu.
Kazuto tersenyum puas dan mengacungkan kalung yang dipegangnya itu. “Ketemu!”
“Benarkah?” Wajah anak perempuan itu langsung berubah cerah. Ia berlari menghampiri
Kazuto dengan mata berkilat-kilat senang dan pipinya semakin merah.
Kazuto berdeham dan menyerahkan kalung itu kepadanya. “Jaga baik-baik. Jangan sampai
hilang lagi.”
Tepat pada saat itu ia mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh dan melihat teman-temannya
ternyata sudah keluar dan melambai-lambai ke arahnya. Kazuto mendesah. Kenapa
mereka memilih sekarang untuk keluar? Ia mendesah pelan sekali lagi dan menoleh kembali
kepada anak perempuan yang berdiri di depannya. “Aku pergi dulu,” katanya. “Kau juga lebih
baik cepat pulang.”
Setelah itu ia pergi bergabung dengan teman-temannya.
* * *
“Naomi, cepat ke sini,” Keiko menarik Naomi yang baru datang. “Dan jangan berbalik! Nanti
dia melihat kita.”
“Siapa?”
“Kau kenal anak laki-laki di lapangan itu? Tapi kau jangan berbalik. Nanti dia melihat.”
Naomi mendelik ke arah saudara kembarnya. “Kalau tidak berbalik bagaimana aku bisa
melihat siapa yang kaumaksud?”
“Baiklah, baiklah. Tapi pelan-pelan saja. Jangan sampai ketahuan.”
Naomi menoleh diam-diam dan memandang ke arah lapangan.
* * *
“Kau tadi bicara dengan siapa, Kazuto?” tanya Eiji yang bertubuh jangkung sambil menoleh ke
belakang.
Kazuto memutar kepala temannya kembali ke depan. “Bukan siapa-siapa. Kenapa kalian
cepat sekali?”
“Cepat?” Mata Makoto melebar terkejut. “Kami pikir kau pasti sudah uring-uringan
karena menunggu begitu lama di luar.”
Kazuto pura-pura tidak mendengar.
“Sekarang kita mau ke mana?” tanya Emi sambil melirik jam tangan.
Akira smabil mengusap-usap kepalanya yang hampir botak. “Bagaimana kalau kita pergi
makan?” usulnya.
“Kenapa pikiranmu makan melulu?” omel Makoto dan menyikut lengan Akira.
“Memangnya kalian tidak pernah dengar cuaca dingin membuat orang-orang gampang
lapar?” tanya Akira sambil memandang teman-temannya satu per satu. “Apalagi aku.”
Emi terkikik. “Maksudmu karena ibumu salah memotong rambutmu sampai hampir botak
dan sekarang kepalamu kedinginan?”
“Jangan mengingatkanku pada rambut jelek ini,” erang Akira. “Aduh, kenapa aku lupa
bawa topi hari ini?”
Kazuto melepaskan topinya dan melemparkannya ke arah Akira. “Pakai ini saja kalau kau
malu rambutmu yang jelek itu dilihat orang.”
Teman-temannya tertawa. Sambil bersungut-sungut, Akira mengenakan topi wol biru itu.
* * *
“Sekarang jam pulang sekolah, kau tahu?” kata Naomi. “Di lapangan banyak orang. Anak lakilaki
yang mana maksudmu? Beri aku petunjuk.”
“Tadi dia bersama teman-temannya,” gumam Keiko sambil berpikir-pikir. Tiba-tiba ia
menjentikkan jari. “Dia memakai topi biru. Topi wol biru!”
“Topi biru?” Naomi menyipitkan mata dan mencari-cari. “Ah, itu dia. Topi biru dan... dia
bersama teman-temannya. Yang itu? Bukankah mereka kakak kelas kita?”
“Ya, ya, ya,” sahut Keiko cepat tanpa berbalik. “Kau tahu siapa namanya? Anak laki-laki
bertopi biru itu?”
Naomi mengangguk. “Itu Kitano Akira.”
“Kitano Akira,” gumam Keiko sambil tersenyum sendiri.
Naomi menyikut saudara kembarnya. “Ngomong-ngomong, kenapa kau ingin tahu?”
Keiko tersenyum lebar penuh rahasia. “Akan kuceritakan di rumah. Ayo, kita pulang.”
 |
| terakhir! |
LAST! Novel ini baru gue tamatin baca kemarin. Wah, gue nyesel kenapa baru baca sekarang. Ceritanya sebenernya sih terlalu cepat menuju inti cerita, jadi hal-hal manisnya kurang dapet. Tapi kalo bener-bener dihayatin, serasa... apa ya? ikut sedih juga, sama kaya apa yang dirasain Tara Dupont (tokoh utama cewek) dan Tatsuya Fujisawa (tokoh utama cowok). Terus terang gue nggak pernah suka sama cerita yang sad ending, apalagi yang ngegantung.
Salah satu cuplikan yang gue suka, ini nih.
Ia tidak bisa menahannya walaupun ia ingin. Ia hanya berharap sepenuh hati, dengan begitu rasa sakit dan kepedihannya juga akan berkurang, walaupun sedikit. Karena ia sungguh tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya terhadap lubang besar yang menganga di dalam dadanya. Tempat hatinya dulu berada.
“Ucapkan satu permintaan sebelum meniup lilinnya,” kata Tara waktu itu.
“Permintaan?”
“Kau tentu tahu kalau permintaan yang diucapkan saat kita berulang tahun akan selalu terkabul, bukan? Ayo, cepat. Nanti lilinnya meleleh.”
Saat itu Tatsuya punya banyak permohonan yang ia tahu tidak akan bisa terkabul. Kenyataan tidak akan bisa diubah. Tetapi ketika ia memandang Tara dan melihatnya tersenyum, ia tahu apa yang diinginkannya.
Sekarang ini ia hanya punya satu keinginan di atas segalanya. Satu permohonan.
Ia ingin Tara Dupont selalu bahagia. Walaupun itu berarti ia harus menyerahkan seluruh hidupnya.
Dan di akhir cerita gue nangis saat baca yang ini nih,
Sejenak ia tidak bisa merasakan detak jantungnya ketika melihat apa yang ada di dalam laci. Tangannya kembali gemetar ketika mengeluarkan foto-foto itu. Lima lembar foto.
Foto-foto Tara sendiri.
Foto pertama adalah foto dirinya yan gmenguap dengan sebelah tangan menutupi mulut. Melihat latar belakang foto itu, Tara tahu di mana foto itu diambil. Di MuseƩ Rodin. Bersama Tatsuya. Tara melihat sebaris tulisan di balik foto.
“Dia menguap...”
Kapan Tatsuya memotretnya? Kenapa ia tidak sadar?
Foto kedua menunjukkan dirinya duduk di tepi jendela dan memandang ke luar jendela. Tara mengenali apartemen yang ditempati Tatsuya di Paris. Ia membalikkan foto dan membaca.
“Melamun sambil memandangi Sungai Seine...”
Foto ketiga. Dirinya berada di dapur apartemennya sendiri, mengangkat panci dengan dua tangan. Ia kembali membalikkan foto itu.
“Dia pintar memasak...”
Foto keempat adalah foto close-up dirinya yang tersenyum lebar.
“Dia tersenyum...”
Foto terakhir membuatnya tidak bisa bernapas. Ia menyadari ternyata ia sudah menangis ketika air matanya menetes ke foto yang dipegangnya. Ia menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan tangis, tetapi tidak berhasil.
Dalam foto itu ia melihat dirinya dan Tatsuya. Ia ingat dengan jelas di mana mereka saat itu. Di Disneyland Paris. Saat itu mereka meminta bantuan pengunjung lain untuk mengambil foto mereka berdua. Mereka mengenakan bando berbentuk telinga Mickey Mouse dan tersenyum lebar ke arah kamera. Sebelah lengan Tatsuya merangkul leher Tara dan tangan yang lain memegang es krim vanila. Tatsuya terlihat sangat tampan saat itu. Tampan dan bahagia.
Dengan tangan yang masih gemetar, Tara membalikkan foto itu.
“Aku dan segala yang kuinginkan dalam hidup...”
Oke, Tetralogi Ilana Tan udah gue ceritain semuanya. Meskipun sebenernya gue salah baca urutan novelnya. harusnya sih urutannya begini,
- Summer in Seoul
- Autumn In Paris
- Winter In Tokyo
- Spring In London
At Last, Gue bersyukur pernah baca karya-karya Ilana Tan. Setelah baca novel-novel di atas, gue semakin tertarik sama dunia tulis-menulis dan... rasanya pengen ngalamin jatuh cinta lagi. Hehehe