-->
Aku
terdiam mendengar kata-kata itu. Gadis itu menatapku sekilas, lalu kembali
sibuk menulis entah apa, aku serasa ingin menciumnya saja saking gemas.
Walaupun kutatap lurus-lurus, tapi dia sama sekali tidak peduli.
Aku sudah tidak bisa
lagi menahan gemasku. Jika saja di kelas ini hanya ada aku dan dia, mungkin aku
bisa berbuat gila. Maka aku berjalan mendekatinya.
“Apa
yang kau katakan barusan?” tanyaku sambil duduk di samping Seo Yun. Aku ingin
dia mengulangi kata-katanya barusan, meskipun aku yakin ucapannya itu tidak
baik. Tidak pernah baik. Tapi meskipun aku telah duduk di sampingnya, dia masih
tetap sibuk mengerjakan tugas Bahasa-nya yang belum selesai—aku sempat
meliriknya. Ketua kelasku ini memang paling lemah di Bahasa.
Sampai
seribu tahun lagi pun aku duduk di sini, kurasa dia tak akan mau menoleh.
Kutarik saja kursinya sampai menghadap ke arahku. Aku sempat melihatnya
terkejut karena ulahku itu, namun dia langsung bisa menguasai ekspresi
wajahnya.
““Apa-yang-kau-katakan-barusan?”
Ku ulangi pertanyaanku sekali lagi sambil menatap mata cokelat miliknya
lekat-lekat.
“Aku
selalu merinding tiap kali berada di
dekatmu. Maka itu, menyingkirlah dari hadapanku.” Jawabnya dengan wajah datar.
Aku
tercengang mendengar perkataannya barusan, dia bisa mengucapkannya dengan
sangat tajam dan sama sekali tanpa ekspresi. Membuat alis mataku terangkat
beberapa saat. Tapi kemudian aku tersenyum, inilah Seo Yun. Ketua kelasku.
Gadis yang sangat ketus.
“Aku
juga tidak pernah ingin berlama-lama di dekatmu. Bisa-bisa aku mati beku di
sini. Kau bahkan lebih dingin dari gundukan salju.” Kudorong kembali kursinya
ke tempat semula. Lalu meninggalkan kursinya menuju kursiku yang ada di pojok
kelas.
Teman-teman
sekelas memandangiku dan juga Seo Yun penuh khawatir, bahkan beberapa ada yang
menggelengkan kepala. Mungkin meraka pikir aku, si brengsek ini dan Seo Yun si
ketua kelas, tak akan pernah bisa berdamai dan tidak ada yang bisa mendamaikan
kami. Tidak satu pun.
Baru
saja aku menghempaskan tubuhku ke kursi, kudengar Seo Yun berteriak ke arahku
sambil mendelik. “Jong Hyun-ya! Kau
membuang sampah di dekat mejaku! Cepat buang!”
Jujur
saja, sebenarnya aku agak tersinggung mendapati sikap tak acuhnya padaku tadi.
Maka ganti aku yang tak mengacuhkannya.
“Kau
buang saja sendiri!” teriakku.
Kulihat
Seo Yun mendengus, ia lalu memungut bungkus permen karet itu dan membuangnya ke
tong sampah sambil mengusap-usap dadanya. Aku tidak sengaja menjatuhkannya di
dekat meja Seo Yun, tapi melihat gadis itu marah-marah karenanya entah kenapa
malah membuatku senang.
Saat
istirahat tiba, aku membuka sebuah kantung snack—aku mendapatkannya dari para
gadis bodoh yang memujaku. Aku lihat Seo Yun tidak keluar kelas, dia malah asik
membaca novel terjemahan yang tebalnya bisa membuat mataku buta. Jika sudah
begitu, aku yakin dia tidak akan ingat yang lain-lain. Termasuk mengisi
perutnya.
Aku
batal memakan snack yang baru kubuka. Mungkin sebaiknya aku beri saja snack ini
padanya, maka aku menaruhnya di atas mejanya lalu berjalan keluar kelas. Makan
mie ramen sepertinya lebih enak.
“YA!! KAU BENAR-BENAR KETERLALUAN JONG
HYUN! CEPAT BUANG SAMPAHMU!”
Aku terlonjak kaget mendengar teriakan di
belakangku. Oh ya ampun, Seo Yun sepertinya salah paham. Gadis itu terlalu
keras kepala. Aku lalu menoleh ke arahnya sambil berkata, “Aku tidak
membuangnya,” kemudia kuteruskan kembali langkahku.
Saat
mencapai pintu kelas, aku mendengar gadis yang duduk di sebelah Seo Yun tertawa
geli. . “Kau tidak juga mengerti ya? Seo Yun-ah… Jong Hyun-ssie menyukaimu.”
Kudengar dia berkata seperti itu, nyaris membuatku mati terkejut. Bagaimana
bisa dia berasumsi bahwa aku menyukai Seo Yun? Aku tidak menyangka jika seorang
gadis bisa sangat menyeramkan.
“Diam
kau, aku tidak butuh komentarmu.” Kudengar Seo Yun berkata dengan nada datar.
Ya, mungkin kurasa sikapnya itu sekarang terlihat baik. Setidaknya dia tidak
tertarik mendengarkan dugaan gadis di sampingnya itu. Tapi, mungkin memang aku menyukai Seo Yun.
Hanya saja sebaiknya gadis itu tak perlu tahu.
***
Kusenderkan tubuhku ke
dinding kelas, kedua kakiku kujulurkan ke atas meja. Kututupi wajahku dengan
sapu tangan dan memulai untuk tidur siang. Tidak ada guru yang mengajar saat
itu, jadi kurasa aku tidak akan menyia-nyiakan waktu begitu saja. Tapi tak
lama, kudengar bel mejerit tanda pelajaran hari itu telah usai.
Aku tetap bergeming. Menunggu sampai semua siswa pulang,
baru kemudian aku menyusul. Sapu tangan yang menutupi wajahku tiba-tiba jatuh
tertiup angin, aku membuka mataku karena silau. Tapi tak sengaja kulihat Seo
Yun baru saja berdiri dari kursinya dan bergegas pulang.
Entah apa yang kupikirkan saat tahu-tahu kakiku melangkah
menyusul Seo Yun. Aku bisa melihatnya berjalan tenang menuju tangga di belokan
kedua di ujung koridor. Susah payah kutahan diriku menyusul langkahnya, tapi
entah kenapa tubuhku malah bersikap sebaliknya. Mungkin aku ingin mengucapkan
selamat jalan? Atau pamit pulang? Entahlah. Aku hanya ingin berbicara dengannya.
Saat tiba di depan tangga, aku refleks menjulurkan
tanganku untuk memegang bahu Seo Yun. Tapi kulihat gadis itu sangat terkejut
karena sentuhan tanganku, hingga ia kehilangan keseimbangan dan menggapai-gapai
mencari pegangan. Aku tidak sempat menarik tubuhnya, karena tiba-tiba saja aku
merasa sangat takut pada akibat yang baru saja kulakukan. Bisa saja Seo Yun
jatuh terguling di tangga dan mengalami patah tulang?
Akhirnya kulihat ia berhasil meraih selusur tangga. Seo
Yun menoleh ke arahku sesaat kemudian, dan aku tertegun melihat matanya
terbelalak seperti ketakutan.
"Apa
yang kau lakukan? Kau nyaris membunuhku!"
Aku benar-benar terhenyak mendengar teriakannya barusan. Demi Tuhan aku tidak bermaksud mencelakainya, apalagi membunuhnya. Tidak
mungkin aku bisa membunuh gadis yang selama hampir satu tahun ini selalu
memenuhi pikiranku. Kuraih tangannya untuk menenangkannya, namun Seo Yun
menepis tanganku.
"Tadi
kau ingin mencelakaiku, kan? Jika tidak berpegangan, maka aku akan jatuh terguling
dan mati!" teriak Seo Yun lagi. Setelah itu ia memutar tubuhnya dan
menuruni tangga secepat kilat.
Aku
bahkan tidak bisa mengejarnya karena tiba-tiba saja otakku terasa kosong. Aku
benar-benar shock atas kejadian itu.
Aku benar-benar membuat gadis itu takut. Apa yang ingin kulakukan sebenarnya
tadi? Aku juga tidak tahu, tapi aku sangat yakin aku bukan bermaksud
mencelakainya. Sama sekali. Tidak melihatnya satu hari saja rasanya membuatku
frustasi. Apalagi tidak melihat gadis itu untuk selamanya? Aku bisa gila.
Setelah
bisa berpikir secara jernih, aku baru berjalan pulang. Tapi setelah kukendarai
motor sport hitamku di jalan sekitar Namsan Park, aku malah berpikir tidak mau
pulang. Ada sesuatu yang harus kulakukan.
Demi
Tuhan aku tidak ingin kehilangan Seo Yun, kehilangan kesempatan untuk berbicara
dengannya seumur hidup. Mungkin saja gadis itu sekarang sangat takut padaku,
takut aku mencelakainya lagi. Dan aku yakin dia akan menghindariku dan tidak
akan berbicara atau minimal memarahiku lagi. Aku bisa benar-benar gila
memikirkan kemungkinan itu.
Aku
baru saja memutuskan untuk menemui Seo Yun di rumahnya, entah bagaimana caranya
aku harus memberitahunya bahwa kejadian tadi benar-benar salah paham. Tiba-tiba
mobil di depanku yang awalnya melaju sangat kencang, mendadak berhenti dengan
decitan rem yang sangat nyaring.
Sia-sia
kuinjak pedal rem, karena segera saja motorku menabrak bemper belakang mobil
itu sampai tubuhku terpelanting jauh. Aku tidak bisa merasakan apa-apa setelah
itu, pandanganku buram. Wajah Seo Yun yang terlihat takut tiba-tiba muncul,
namun segera hilang bersama hilangnya kesadaranku.
***
Entah apa yang
membawaku ke sini, ke depan pekarangan rumah Seo Yun. Entah karena keinginanku
yang kuat, atau rasa penasaranku, atau karena memang hanya dia saja yang terpikir
olehku saat malaikat pencabut nyawa hendak mencabut nyawaku. Tentu dia—malaikat
pencabut nyawa—tidak akan membiarkan aku mati penasaran. Mungkin.
Aku terperangah saat jendela di hadapanku terbuka lebar,
Seo Yun ada di baliknya. Berdiri persis di depanku. Betapa aku sangat ingin
bertemunya seperti ini, menjelaskan semuanya. Namun sejak tadi walaupun aku
berdiri di hadapannya, kurasa dia sama sekali tak melihatku. Berulang kali
kucoba panggil namanya, bahkan lambai-lambaikan tanganku di depan wajahnya,
tetapi dia tidak mengacuhkanku. Seo Yun malah memandangi bulan di langit dengan
damai.
Aku nyaris frustasi. Bagaimana bisa dia tidak
mengenaliku? Atau paling tidak, menyadari keberadaanku? Kupandangi diriku
sendiri, dan baru menyadarinya. Astaga! Aku sudah mati. Pantas saja Seo Yun
tidak bisa melihatku. Aku merasa sangat sedih, bukan karena aku sudah mati,
sama sekali tidak. Aku hanya tidak ingin mati sebelum bisa meyakinkan Seo Yun
bahwa dia salah paham.
Perlahan kuulurkan tanganku ke arahnya. Mencoba menyentuh
bahunya, semoga saja dia bisa merasakan kehadiranku. Kumohon, Tuhan.
Aku ikut terkejut saat tiba-tiba Seo Yun terlonjak kaget.
Permohonanku dikabulkan, karena ia bisa merasakan sentuhan tanganku. Kulihat ia
menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu ia mengatakan sesuatu yang membuatku
tertegun.
“Jong Hyun, kau-kah itu?”
Ingin rasanya aku memeluknya, mengatakan bahwa aku ada di
sini. Dan aku akan meminta maaf sebanyak yang ia mau dengarkan. Sungguh. Namun,
sesaat kemudian kulihat Seo Yun menggelengkan kepalanya. Seolah menganggap
pertanyaannya tadi benar-benar konyol. Ia lalu menutup kembali jendela di
hadapanku.
***
Dari jauh aku bisa
melihat sebuah bola baseball melambung tinggi, mengarah ke jendela yang ada di
samping kursi Seo Yun. Aku berteriak sangat keras, memanggil nama gadis itu,
menyuruhnya untuk menyingkir. Namun berakhir sia-sia. Bola itu menghantam kaca
jendela hingga pecah belah. Syukurlah, Seo Yun sempat bersembunyi di bawah meja
sebelum pecahan kaca itu melukainya.
“A-aku… aku nyaris mati… ada yang ingin mencelakaiku.”
Kudengar Seo Yun berkata lirih setelah teman-teman membantunya keluar dari
bawah meja. Aku melihatnya sangat ketakutan. Oh, kumohon, jangan biarkan dia
berpikir bahwa aku yang berusaha mencelekainya lagi.
Sampai semua teman sekelas kami berhamburan pulang,
kulihat Seo Yun masih bertahan di kelas. Kulihat ia masih takut atas kejadian
tadi siang. Dan sepertinya ia memang mengira kalau aku-lah yang menyebabkannya
dalam bahaya, sebab sepanjang hari ini dia berulang kali menoleh ke kursiku.
Kucoba mendekatinya lagi, berusaha meyakinkan ia kalau
aku ada bersamanya. Walaupun mungkin jika itu kulakukan ia malah akan mengira
aku sedang menerornya, membuatnya takut dan kesalahpahamannya padaku semakin
bertambah. Tapi aku tidak peduli, aku akan berusaha supaya ia bisa merasakan
kehadiranku. Dengan begitu, aku akan lebih mudah memberinya penjelasan tentang
kesalahpahamannya padaku, entah bagaimana pun caranya.
Baru saja aku akan menyentuh bahunya satu kali lagi, Seo
Yun mendadak terdiam. Tak lama ia menoleh ke arah kursiku. Harapan di hatiku
segera terbit, mungkin saja dia memang bisa merasakan kehadiranku. Tapi lalu ia
meraphikan buku-buku dan alat tulisnya secepat kilat, gadis itu kemudian
bergegas pulang. Aku pun segera mengikutinya.
Aku sempat melihat genangan air di anak tangga paling
atas, tepat saat Seo Yun menginjaknya. Gadis itu segera kehilangan
keseimbangan, aku berusaha setengah mati menggapai tubuhnya, menahannya agar
tidak tertarik gravitasi bumi. Namun lagi-lagi berujung sia-sia. Seo Yun jatuh terguling
membentur setiap anak tangga, dengan sangat sakit—meskipun aku tidak
merasakannya langsung—kubiarkan tubuhnya berhenti sendiri di lantai yang datar.
Tertegun aku melihat hidung Seo Yun mengeluarkan darah.
Dia menyekanya dengan tangan kosong. Sambil menyeka hidungnya begitu, ia
menatap berkeliling seolah mencari-cari sesuatu. Mungkinkah mencariku?
“A-aku…
mohon… kau jangan mencelakaiku, Jong Hyun…” katanya serak.
Aku benar-benar terterhenyak kali ini.
Ternyata memang benar, ia menyangka aku yang melakukan semuanya. Aku sangat
sedih, aku yakin Seo Yun pasti merasa sakit yang amat sangat, tapi aku tentu
tidak menginginkan hal itu terjadi padanya. Tidak sama sekali. Aku justru ingin
sekali melindunginya. Entah untuk alasan apa.
Saat kulihat air mata Seo Yun jatuh bergulir, rasanya aku bisa merasakan
rasa sakit yang dia rasakan. Jika saja saat ini aku berwujud manusia, sumpah
mati, aku akan memeluknya.
***
Seharian ini aku selalu
menemani Seo Yun ke mana pun ia pergi. Aku merasa seperti tidak punya pekerjaan
lain selain mengikutinya, karena memang apa yang bisa kulakukan? Ketika malam
tiba, Seo Yun naik taksi dan turun di depan sebuah rumah sakit. Kupikir
siapakah yang sedang sakit? Mungkinkah temannya? Aku mengikutinya saja.
Seorang dokter keluar dari sebuah kamar rawat, sepertinya
baru selesai memeriksa seorang pasien di kamar itu. Seo Yun serta merta
langsung menginterogasinya. Kurasa.
“Temanmu tidak mengalami luka
serius di tubuhnya. Hanya saja ia mengalami koma, sama sekali tidak bisa diprediksi
kapan ia akan bangun lagi. Atau bisa jadi tidak akan pernah bangun lagi. Kami
sudah mencoba yang terbaik untuknya.” Jawab dokter itu.
Aku penasaran ketika Seo Yun tidak segera masuk melainkan
mengintip dari celah jendela. Aku jadi ikut mengintip, walaupun bahkan aku bisa
menembus dinding di depanku ini. Sesaat aku langsung tertegun. Aku menoleh
menatap gadis di sampingku lagi dan kudapati dia sedang menangkup mulutnya
dengan telapak tangan. Terlihat sama tertegunnya seperti aku.
Yang berbaring sekarat di sana itu… aku!
Aku pikir selama ini mungkin aku sudah mati. Agak aneh
memang, karena tidak ada satu kabar pun yang mengatakan bahwa aku telah
meninggal. Apa kata dokter tadi? Aku mengalami koma? Dan bisa jadi aku tidak
akan bangun lagi? Bagus. Aku akan mati dalam keadaan penasaran betulan.
Kembali aku tertegun saat menatap Seo Yun, air mata gadis
itu mengalir jatuh sementara matanya tetap memandangiku dengan tatapan yang
sulit kujelaskan. Beberapa saat kemudian dia menarik napas dalam-dalam dan
menghelanya dengan keras, lalu setelah itu meraih handle pintu dan berjalan
masuk.
Entah mengapa tiba-tiba
saja kenangan itu menyeruak hadir di pikiranku, saat pertama kalinya aku
bertemu dengan Seo Yun. Saat itu aku sedang berjalan ke luar kelas, berniat
bolos. Sementara Seo Yun berjalan masuk ke kelas. Mungkin ia baru saja memanggil
guru. Menurutku gadis itu sangat cantik, hanya saja tatapannya terkesan dingin
sekali. Entah kenapa aku ingin sekali
menyapanya.
“Kau ketua kelasku? Kuharap
kau tidak akan galak-galak padaku. Sebab, kau cantik.” Aku serius saat
mengatakan hal itu. Tapi sepertinya dia mengira aku sedang merayunya. Aku segera
berlalu dari hadapannya sebelum guru yang mengajar sempat menegurku. Tapi tiba-tiba
seragam bagian belakangku seperti ditarik seseorang. Aku menoleh.
“Kalau begitu kau harus menuruti perintahku. Cepat masuk kelas.” Kata
Seo Yun, matanya menatapku dengan tegas. Entah kenapa aku merasa memiliki
alasan untuk tetap pergi ke sekolah sejak itu. Aku membalas ucapannya dengan
tersenyum, kemudian melangkah masuk kelas bersamanya.
Setelah pertemuan pertama itu, aku
selalu menuruti semua perintahnya sebagai ketua kelasku. Aku tidak lagi datang
terlambat, tidak lagi bolos mata pelajaran apa-pun, mau mengerjakan tugas piket
ataupun membantu Seo Yun saat disuruh oleh guru. Aku tidak pernah membiarkan
tubuhnya yang imut itu mengangkat beban berat.
Tapi karena sikapku yang berubah
menjadi anak baik itu, beberapa hari terakhir Seo Yun tidak pernah lagi mengacuhkanku,
atau minimal marah-marah padaku seperti biasa. Aku rasa mungkin dengan aku
berperilaku brengsek lagi, dia baru akan kembali marah-marah padaku. Bagiku,
marahnya itu adalah suatu bentuk perhatian.
Aku tidak pernah melepaskan
perhatian mataku dari Seo Yun. Dia itu gadis yang sangat tertutup, namun
melihat senyumnya yang seperti sinar matahari rasanya seperti mendapat
semangat baru. Aku pernah membuat dan melihatnya tersenyum, hanya satu kali. Kala
itu aku sedang meniup permen karet menjadi sebuah gelembung, di tengah-tengah
pelajaran yang membuatku bosan setengah mati. Seo Yun menoleh ke arahku,
kupikir mungkin instingnya sudah sangat peka terhadap tingkahku. Aku nyengir
padanya, tanpa sempat menahan mulutku untuk terus meniup permen karet itu. Akhirnya
gelembung itu meledak, menempel di seluruh wajah dan sedikit mengenai rambutku.
Aku merasa sangat idiot saat itu, namun melihat Seo Yun yang tertawa cerah di
kursinya—menertawakanlu—aku merasa sangat tersengat.
Entah dengan kata apa aku bisa mengekspresikannya.
Kulihat kini Seo Yun duduk di
samping pembaringan ‘tubuhku’. Aku merasa tersiksa melihat matanya yang terus-menerus mengalirkan air mata. Ia memandangi wajahku tanpa berkedip, pancaran
sinar matanya rasanya sangat sulit kujelaskan. Tiba-tiba ia mengangkat sebelah
tangannya, menempelkan jari telunjuknya di luka memar yang ada di pipi kananku.
Perlahan dan dengan sangat hati-hati ia menelusuri luka itu dengan telunjuknya,
seolah tak ingin melukaiku.
Aku tertegun saat ia tak mampu
lagi menahan isak tangis yang kurasa ditahannya sejak tadi. Ia lalu menyurukkan
wajahnya di samping tubuhku. Demi Tuhan, aku tidak sanggup melihatnya. Tenggorokanku
rasanya sangat sakit. Aku ingin memeluknya, sungguh sangat ingin memeluknya. Akankah
aku bisa bertahan hidup?
“Jong Hyun pabbo,… bangun… kau tidak boleh terus-terusan tidur,” Seo berkata
lirih di sela tangisnya. Dia angkat kembali wajahnya, kembali menatap wajahku.
“Maafkan aku… karena telah
menuduhmu sembarangan…” katanya lagi. “Kau harus bangun… sebab jika tidak, kau
harus janji akan membunuhku ya.”
Jangan bodoh! Aku tidak akan
pernah bisa melakukan itu, Seo Yun, percayalah. Berulang kali aku mengatakan
hal itu, tapi dia tentu saja tidak mendengarnya. Aku merasa sangat frustasi,
lalu aku berteriak. Keras, dan menggelegar. namun aku tahu tidak akan merubah
apa-apa.
Aku duduk di samping Seo Yun yang
perlahan mengulurkan tangannya untuk meraih tanganku. Ia menggenggam dan
menjadikannya satu dalam genggaman tangannya sendiri. Didekatkannya tangan kami
ke dagunya, dan menempelkannya di sana.
“Saranghae…”
Aku terbelalak menatapnya mengucapkan satu kalimat itu
dengan nada lirih.
Tiba-tiba
seberkas sinar menyinariku, entah dari mana datangnya. Lalu menarik paksaku,
membawaku entah ke mana. Pandangannku kabur, semuanya terlihat sangat silau. Mungkinkah,
Tuhan memanggilku?

No comments:
Post a Comment