Friday, May 25, 2012

Ghost Jong (Sekual)


-->
Mihai Paraschiv from Pixabay

AKU merinding tiap kali berada di dekatmu,”
            Aku terdiam mendengar kata-kata itu. Gadis itu menatapku sekilas, lalu kembali sibuk menulis entah apa, aku serasa ingin menciumnya saja saking gemas. Walaupun kutatap lurus-lurus, tapi dia sama sekali tidak peduli.
Aku sudah tidak bisa lagi menahan gemasku. Jika saja di kelas ini hanya ada aku dan dia, mungkin aku bisa berbuat gila. Maka aku berjalan mendekatinya.
            “Apa yang kau katakan barusan?” tanyaku sambil duduk di samping Seo Yun. Aku ingin dia mengulangi kata-katanya barusan, meskipun aku yakin ucapannya itu tidak baik. Tidak pernah baik. Tapi meskipun aku telah duduk di sampingnya, dia masih tetap sibuk mengerjakan tugas Bahasa-nya yang belum selesai—aku sempat meliriknya. Ketua kelasku ini memang paling lemah di Bahasa.
            Sampai seribu tahun lagi pun aku duduk di sini, kurasa dia tak akan mau menoleh. Kutarik saja kursinya sampai menghadap ke arahku. Aku sempat melihatnya terkejut karena ulahku itu, namun dia langsung bisa menguasai ekspresi wajahnya.
““Apa-yang-kau-katakan-barusan?” Ku ulangi pertanyaanku sekali lagi sambil menatap mata cokelat miliknya lekat-lekat.
“Aku selalu merinding tiap kali berada di dekatmu. Maka itu, menyingkirlah dari hadapanku.” Jawabnya dengan wajah datar.
Aku tercengang mendengar perkataannya barusan, dia bisa mengucapkannya dengan sangat tajam dan sama sekali tanpa ekspresi. Membuat alis mataku terangkat beberapa saat. Tapi kemudian aku tersenyum, inilah Seo Yun. Ketua kelasku. Gadis yang sangat ketus.
“Aku juga tidak pernah ingin berlama-lama di dekatmu. Bisa-bisa aku mati beku di sini. Kau bahkan lebih dingin dari gundukan salju.” Kudorong kembali kursinya ke tempat semula. Lalu meninggalkan kursinya menuju kursiku yang ada di pojok kelas.
Teman-teman sekelas memandangiku dan juga Seo Yun penuh khawatir, bahkan beberapa ada yang menggelengkan kepala. Mungkin meraka pikir aku, si brengsek ini dan Seo Yun si ketua kelas, tak akan pernah bisa berdamai dan tidak ada yang bisa mendamaikan kami. Tidak satu pun.
Baru saja aku menghempaskan tubuhku ke kursi, kudengar Seo Yun berteriak ke arahku sambil mendelik. “Jong Hyun-ya! Kau membuang sampah di dekat mejaku! Cepat buang!”
Jujur saja, sebenarnya aku agak tersinggung mendapati sikap tak acuhnya padaku tadi. Maka ganti aku yang tak mengacuhkannya.
“Kau buang saja sendiri!” teriakku.
Kulihat Seo Yun mendengus, ia lalu memungut bungkus permen karet itu dan membuangnya ke tong sampah sambil mengusap-usap dadanya. Aku tidak sengaja menjatuhkannya di dekat meja Seo Yun, tapi melihat gadis itu marah-marah karenanya entah kenapa malah membuatku senang.
Saat istirahat tiba, aku membuka sebuah kantung snack—aku mendapatkannya dari para gadis bodoh yang memujaku. Aku lihat Seo Yun tidak keluar kelas, dia malah asik membaca novel terjemahan yang tebalnya bisa membuat mataku buta. Jika sudah begitu, aku yakin dia tidak akan ingat yang lain-lain. Termasuk mengisi perutnya.
Aku batal memakan snack yang baru kubuka. Mungkin sebaiknya aku beri saja snack ini padanya, maka aku menaruhnya di atas mejanya lalu berjalan keluar kelas. Makan mie ramen sepertinya lebih enak.
YA!! KAU BENAR-BENAR KETERLALUAN JONG HYUN! CEPAT BUANG SAMPAHMU!”
  Aku terlonjak kaget mendengar teriakan di belakangku. Oh ya ampun, Seo Yun sepertinya salah paham. Gadis itu terlalu keras kepala. Aku lalu menoleh ke arahnya sambil berkata, “Aku tidak membuangnya,” kemudia kuteruskan kembali langkahku.
Saat mencapai pintu kelas, aku mendengar gadis yang duduk di sebelah Seo Yun tertawa geli. . “Kau tidak juga mengerti ya? Seo Yun-ah… Jong Hyun-ssie menyukaimu.” Kudengar dia berkata seperti itu, nyaris membuatku mati terkejut. Bagaimana bisa dia berasumsi bahwa aku menyukai Seo Yun? Aku tidak menyangka jika seorang gadis bisa sangat menyeramkan.
“Diam kau, aku tidak butuh komentarmu.” Kudengar Seo Yun berkata dengan nada datar. Ya, mungkin kurasa sikapnya itu sekarang terlihat baik. Setidaknya dia tidak tertarik mendengarkan dugaan gadis di sampingnya itu. Tapi, mungkin memang aku menyukai Seo Yun. Hanya saja sebaiknya gadis itu tak perlu tahu.
***
Kusenderkan tubuhku ke dinding kelas, kedua kakiku kujulurkan ke atas meja. Kututupi wajahku dengan sapu tangan dan memulai untuk tidur siang. Tidak ada guru yang mengajar saat itu, jadi kurasa aku tidak akan menyia-nyiakan waktu begitu saja. Tapi tak lama, kudengar bel mejerit tanda pelajaran hari itu telah usai.
            Aku tetap bergeming. Menunggu sampai semua siswa pulang, baru kemudian aku menyusul. Sapu tangan yang menutupi wajahku tiba-tiba jatuh tertiup angin, aku membuka mataku karena silau. Tapi tak sengaja kulihat Seo Yun baru saja berdiri dari kursinya dan bergegas pulang.
            Entah apa yang kupikirkan saat tahu-tahu kakiku melangkah menyusul Seo Yun. Aku bisa melihatnya berjalan tenang menuju tangga di belokan kedua di ujung koridor. Susah payah kutahan diriku menyusul langkahnya, tapi entah kenapa tubuhku malah bersikap sebaliknya. Mungkin aku ingin mengucapkan selamat jalan? Atau pamit pulang? Entahlah. Aku hanya ingin berbicara dengannya.
            Saat tiba di depan tangga, aku refleks menjulurkan tanganku untuk memegang bahu Seo Yun. Tapi kulihat gadis itu sangat terkejut karena sentuhan tanganku, hingga ia kehilangan keseimbangan dan menggapai-gapai mencari pegangan. Aku tidak sempat menarik tubuhnya, karena tiba-tiba saja aku merasa sangat takut pada akibat yang baru saja kulakukan. Bisa saja Seo Yun jatuh terguling di tangga dan mengalami patah tulang?
            Akhirnya kulihat ia berhasil meraih selusur tangga. Seo Yun menoleh ke arahku sesaat kemudian, dan aku tertegun melihat matanya terbelalak seperti ketakutan.
"Apa yang kau lakukan? Kau nyaris membunuhku!"
            Aku benar-benar terhenyak mendengar teriakannya barusan. Demi Tuhan aku tidak bermaksud mencelakainya, apalagi membunuhnya. Tidak mungkin aku bisa membunuh gadis yang selama hampir satu tahun ini selalu memenuhi pikiranku. Kuraih tangannya untuk menenangkannya, namun Seo Yun menepis tanganku.
"Tadi kau ingin mencelakaiku, kan? Jika tidak berpegangan, maka aku akan jatuh terguling dan mati!" teriak Seo Yun lagi. Setelah itu ia memutar tubuhnya dan menuruni tangga secepat kilat.
Aku bahkan tidak bisa mengejarnya karena tiba-tiba saja otakku terasa kosong. Aku benar-benar shock atas kejadian itu. Aku benar-benar membuat gadis itu takut. Apa yang ingin kulakukan sebenarnya tadi? Aku juga tidak tahu, tapi aku sangat yakin aku bukan bermaksud mencelakainya. Sama sekali. Tidak melihatnya satu hari saja rasanya membuatku frustasi. Apalagi tidak melihat gadis itu untuk selamanya? Aku bisa gila.
Setelah bisa berpikir secara jernih, aku baru berjalan pulang. Tapi setelah kukendarai motor sport hitamku di jalan sekitar Namsan Park, aku malah berpikir tidak mau pulang. Ada sesuatu yang harus kulakukan.
Demi Tuhan aku tidak ingin kehilangan Seo Yun, kehilangan kesempatan untuk berbicara dengannya seumur hidup. Mungkin saja gadis itu sekarang sangat takut padaku, takut aku mencelakainya lagi. Dan aku yakin dia akan menghindariku dan tidak akan berbicara atau minimal memarahiku lagi. Aku bisa benar-benar gila memikirkan kemungkinan itu.
Aku baru saja memutuskan untuk menemui Seo Yun di rumahnya, entah bagaimana caranya aku harus memberitahunya bahwa kejadian tadi benar-benar salah paham. Tiba-tiba mobil di depanku yang awalnya melaju sangat kencang, mendadak berhenti dengan decitan rem yang sangat nyaring.
Sia-sia kuinjak pedal rem, karena segera saja motorku menabrak bemper belakang mobil itu sampai tubuhku terpelanting jauh. Aku tidak bisa merasakan apa-apa setelah itu, pandanganku buram. Wajah Seo Yun yang terlihat takut tiba-tiba muncul, namun segera hilang bersama hilangnya kesadaranku.
***
Entah apa yang membawaku ke sini, ke depan pekarangan rumah Seo Yun. Entah karena keinginanku yang kuat, atau rasa penasaranku, atau karena memang hanya dia saja yang terpikir olehku saat malaikat pencabut nyawa hendak mencabut nyawaku. Tentu dia—malaikat pencabut nyawa—tidak akan membiarkan aku mati penasaran. Mungkin.
            Aku terperangah saat jendela di hadapanku terbuka lebar, Seo Yun ada di baliknya. Berdiri persis di depanku. Betapa aku sangat ingin bertemunya seperti ini, menjelaskan semuanya. Namun sejak tadi walaupun aku berdiri di hadapannya, kurasa dia sama sekali tak melihatku. Berulang kali kucoba panggil namanya, bahkan lambai-lambaikan tanganku di depan wajahnya, tetapi dia tidak mengacuhkanku. Seo Yun malah memandangi bulan di langit dengan damai.
            Aku nyaris frustasi. Bagaimana bisa dia tidak mengenaliku? Atau paling tidak, menyadari keberadaanku? Kupandangi diriku sendiri, dan baru menyadarinya. Astaga! Aku sudah mati. Pantas saja Seo Yun tidak bisa melihatku. Aku merasa sangat sedih, bukan karena aku sudah mati, sama sekali tidak. Aku hanya tidak ingin mati sebelum bisa meyakinkan Seo Yun bahwa dia salah paham.
            Perlahan kuulurkan tanganku ke arahnya. Mencoba menyentuh bahunya, semoga saja dia bisa merasakan kehadiranku. Kumohon, Tuhan.
            Aku ikut terkejut saat tiba-tiba Seo Yun terlonjak kaget. Permohonanku dikabulkan, karena ia bisa merasakan sentuhan tanganku. Kulihat ia menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu ia mengatakan sesuatu yang membuatku tertegun.
            “Jong Hyun, kau-kah itu?”
            Ingin rasanya aku memeluknya, mengatakan bahwa aku ada di sini. Dan aku akan meminta maaf sebanyak yang ia mau dengarkan. Sungguh. Namun, sesaat kemudian kulihat Seo Yun menggelengkan kepalanya. Seolah menganggap pertanyaannya tadi benar-benar konyol. Ia lalu menutup kembali jendela di hadapanku.
***
Dari jauh aku bisa melihat sebuah bola baseball melambung tinggi, mengarah ke jendela yang ada di samping kursi Seo Yun. Aku berteriak sangat keras, memanggil nama gadis itu, menyuruhnya untuk menyingkir. Namun berakhir sia-sia. Bola itu menghantam kaca jendela hingga pecah belah. Syukurlah, Seo Yun sempat bersembunyi di bawah meja sebelum pecahan kaca itu melukainya.
            “A-aku… aku nyaris mati… ada yang ingin mencelakaiku.” Kudengar Seo Yun berkata lirih setelah teman-teman membantunya keluar dari bawah meja. Aku melihatnya sangat ketakutan. Oh, kumohon, jangan biarkan dia berpikir bahwa aku yang berusaha mencelekainya lagi.
            Sampai semua teman sekelas kami berhamburan pulang, kulihat Seo Yun masih bertahan di kelas. Kulihat ia masih takut atas kejadian tadi siang. Dan sepertinya ia memang mengira kalau aku-lah yang menyebabkannya dalam bahaya, sebab sepanjang hari ini dia berulang kali menoleh ke kursiku.
            Kucoba mendekatinya lagi, berusaha meyakinkan ia kalau aku ada bersamanya. Walaupun mungkin jika itu kulakukan ia malah akan mengira aku sedang menerornya, membuatnya takut dan kesalahpahamannya padaku semakin bertambah. Tapi aku tidak peduli, aku akan berusaha supaya ia bisa merasakan kehadiranku. Dengan begitu, aku akan lebih mudah memberinya penjelasan tentang kesalahpahamannya padaku, entah bagaimana pun caranya.
            Baru saja aku akan menyentuh bahunya satu kali lagi, Seo Yun mendadak terdiam. Tak lama ia menoleh ke arah kursiku. Harapan di hatiku segera terbit, mungkin saja dia memang bisa merasakan kehadiranku. Tapi lalu ia meraphikan buku-buku dan alat tulisnya secepat kilat, gadis itu kemudian bergegas pulang. Aku pun segera mengikutinya.
            Aku sempat melihat genangan air di anak tangga paling atas, tepat saat Seo Yun menginjaknya. Gadis itu segera kehilangan keseimbangan, aku berusaha setengah mati menggapai tubuhnya, menahannya agar tidak tertarik gravitasi bumi. Namun lagi-lagi berujung sia-sia. Seo Yun jatuh terguling membentur setiap anak tangga, dengan sangat sakit—meskipun aku tidak merasakannya langsung—kubiarkan tubuhnya berhenti sendiri di lantai yang datar.
            Tertegun aku melihat hidung Seo Yun mengeluarkan darah. Dia menyekanya dengan tangan kosong. Sambil menyeka hidungnya begitu, ia menatap berkeliling seolah mencari-cari sesuatu. Mungkinkah mencariku?
            A-aku… mohon… kau jangan mencelakaiku, Jong Hyun…” katanya serak.
            Aku benar-benar terterhenyak kali ini. Ternyata memang benar, ia menyangka aku yang melakukan semuanya. Aku sangat sedih, aku yakin Seo Yun pasti merasa sakit yang amat sangat, tapi aku tentu tidak menginginkan hal itu terjadi padanya. Tidak sama sekali. Aku justru ingin sekali melindunginya. Entah untuk alasan apa.  Saat kulihat air mata Seo Yun jatuh bergulir, rasanya aku bisa merasakan rasa sakit yang dia rasakan. Jika saja saat ini aku berwujud manusia, sumpah mati, aku akan memeluknya.
***
Seharian ini aku selalu menemani Seo Yun ke mana pun ia pergi. Aku merasa seperti tidak punya pekerjaan lain selain mengikutinya, karena memang apa yang bisa kulakukan? Ketika malam tiba, Seo Yun naik taksi dan turun di depan sebuah rumah sakit. Kupikir siapakah yang sedang sakit? Mungkinkah temannya? Aku mengikutinya saja.
            Seorang dokter keluar dari sebuah kamar rawat, sepertinya baru selesai memeriksa seorang pasien di kamar itu. Seo Yun serta merta langsung menginterogasinya. Kurasa.
“Temanmu tidak mengalami luka serius di tubuhnya. Hanya saja ia mengalami koma, sama sekali tidak bisa diprediksi kapan ia akan bangun lagi. Atau bisa jadi tidak akan pernah bangun lagi. Kami sudah mencoba yang terbaik untuknya.” Jawab dokter itu.
            Aku penasaran ketika Seo Yun tidak segera masuk melainkan mengintip dari celah jendela. Aku jadi ikut mengintip, walaupun bahkan aku bisa menembus dinding di depanku ini. Sesaat aku langsung tertegun. Aku menoleh menatap gadis di sampingku lagi dan kudapati dia sedang menangkup mulutnya dengan telapak tangan. Terlihat sama tertegunnya seperti aku.
            Yang berbaring sekarat di sana itu… aku!
            Aku pikir selama ini mungkin aku sudah mati. Agak aneh memang, karena tidak ada satu kabar pun yang mengatakan bahwa aku telah meninggal. Apa kata dokter tadi? Aku mengalami koma? Dan bisa jadi aku tidak akan bangun lagi? Bagus. Aku akan mati dalam keadaan penasaran betulan.
            Kembali aku tertegun saat menatap Seo Yun, air mata gadis itu mengalir jatuh sementara matanya tetap memandangiku dengan tatapan yang sulit kujelaskan. Beberapa saat kemudian dia menarik napas dalam-dalam dan menghelanya dengan keras, lalu setelah itu meraih handle pintu dan berjalan masuk.
            Entah mengapa tiba-tiba saja kenangan itu menyeruak hadir di pikiranku, saat pertama kalinya aku bertemu dengan Seo Yun. Saat itu aku sedang berjalan ke luar kelas, berniat bolos. Sementara Seo Yun berjalan masuk ke kelas. Mungkin ia baru saja memanggil guru. Menurutku gadis itu sangat cantik, hanya saja tatapannya terkesan dingin sekali.  Entah kenapa aku ingin sekali menyapanya.
Kau ketua kelasku? Kuharap kau tidak akan galak-galak padaku. Sebab, kau cantik.” Aku serius saat mengatakan hal itu. Tapi sepertinya dia mengira aku sedang merayunya. Aku segera berlalu dari hadapannya sebelum guru yang mengajar sempat menegurku. Tapi tiba-tiba seragam bagian belakangku seperti ditarik seseorang. Aku menoleh.
Kalau begitu kau harus menuruti perintahku. Cepat masuk kelas.” Kata Seo Yun, matanya menatapku dengan tegas. Entah kenapa aku merasa memiliki alasan untuk tetap pergi ke sekolah sejak itu. Aku membalas ucapannya dengan tersenyum, kemudian melangkah masuk kelas bersamanya.       
Setelah pertemuan pertama itu, aku selalu menuruti semua perintahnya sebagai ketua kelasku. Aku tidak lagi datang terlambat, tidak lagi bolos mata pelajaran apa-pun, mau mengerjakan tugas piket ataupun membantu Seo Yun saat disuruh oleh guru. Aku tidak pernah membiarkan tubuhnya yang imut itu mengangkat beban berat.
Tapi karena sikapku yang berubah menjadi anak baik itu, beberapa hari terakhir Seo Yun tidak pernah lagi mengacuhkanku, atau minimal marah-marah padaku seperti biasa. Aku rasa mungkin dengan aku berperilaku brengsek lagi, dia baru akan kembali marah-marah padaku. Bagiku, marahnya itu adalah suatu bentuk perhatian.
Aku tidak pernah melepaskan perhatian mataku dari Seo Yun. Dia itu gadis yang sangat tertutup, namun melihat senyumnya yang seperti sinar matahari rasanya seperti mendapat semangat baru. Aku pernah membuat dan melihatnya tersenyum, hanya satu kali. Kala itu aku sedang meniup permen karet menjadi sebuah gelembung, di tengah-tengah pelajaran yang membuatku bosan setengah mati. Seo Yun menoleh ke arahku, kupikir mungkin instingnya sudah sangat peka terhadap tingkahku. Aku nyengir padanya, tanpa sempat menahan mulutku untuk terus meniup permen karet itu. Akhirnya gelembung itu meledak, menempel di seluruh wajah dan sedikit mengenai rambutku. Aku merasa sangat idiot saat itu, namun melihat Seo Yun yang tertawa cerah di kursinya—menertawakanlu—aku merasa sangat tersengat. Entah dengan kata apa aku bisa mengekspresikannya.
Kulihat kini Seo Yun duduk di samping pembaringan ‘tubuhku’. Aku merasa tersiksa melihat matanya yang terus-menerus mengalirkan air mata. Ia memandangi wajahku tanpa berkedip, pancaran sinar matanya rasanya sangat sulit kujelaskan. Tiba-tiba ia mengangkat sebelah tangannya, menempelkan jari telunjuknya di luka memar yang ada di pipi kananku. Perlahan dan dengan sangat hati-hati ia menelusuri luka itu dengan telunjuknya, seolah tak ingin melukaiku.
Aku tertegun saat ia tak mampu lagi menahan isak tangis yang kurasa ditahannya sejak tadi. Ia lalu menyurukkan wajahnya di samping tubuhku. Demi Tuhan, aku tidak sanggup melihatnya. Tenggorokanku rasanya sangat sakit. Aku ingin memeluknya, sungguh sangat ingin memeluknya. Akankah aku bisa bertahan hidup?
“Jong Hyun pabbo,… bangun… kau tidak boleh terus-terusan tidur,” Seo berkata lirih di sela tangisnya. Dia angkat kembali wajahnya, kembali menatap wajahku.
“Maafkan aku… karena telah menuduhmu sembarangan…” katanya lagi. “Kau harus bangun… sebab jika tidak, kau harus janji akan membunuhku ya.”
Jangan bodoh! Aku tidak akan pernah bisa melakukan itu, Seo Yun, percayalah. Berulang kali aku mengatakan hal itu, tapi dia tentu saja tidak mendengarnya. Aku merasa sangat frustasi, lalu aku berteriak. Keras, dan  menggelegar. namun aku tahu tidak akan merubah apa-apa.
Aku duduk di samping Seo Yun yang perlahan mengulurkan tangannya untuk meraih tanganku. Ia menggenggam dan menjadikannya satu dalam genggaman tangannya sendiri. Didekatkannya tangan kami ke dagunya, dan menempelkannya di sana.
Saranghae…
            Aku terbelalak menatapnya mengucapkan satu kalimat itu dengan nada lirih.
Tiba-tiba seberkas sinar menyinariku, entah dari mana datangnya. Lalu menarik paksaku, membawaku entah ke mana. Pandangannku kabur, semuanya terlihat sangat silau. Mungkinkah, Tuhan memanggilku?          

No comments:

5 Aktor Korea Ini Paling Cocok Perankan Bangsawan

Bagi seorang aktor, memerankan figur seorang bangsawan menjadi hal yang mudah saja. Namun, hanya beberapa di antara mereka yang dinila...