Friday, May 25, 2012

Ghost Jong (Sekual)


-->
Mihai Paraschiv from Pixabay

AKU merinding tiap kali berada di dekatmu,”
            Aku terdiam mendengar kata-kata itu. Gadis itu menatapku sekilas, lalu kembali sibuk menulis entah apa, aku serasa ingin menciumnya saja saking gemas. Walaupun kutatap lurus-lurus, tapi dia sama sekali tidak peduli.
Aku sudah tidak bisa lagi menahan gemasku. Jika saja di kelas ini hanya ada aku dan dia, mungkin aku bisa berbuat gila. Maka aku berjalan mendekatinya.
            “Apa yang kau katakan barusan?” tanyaku sambil duduk di samping Seo Yun. Aku ingin dia mengulangi kata-katanya barusan, meskipun aku yakin ucapannya itu tidak baik. Tidak pernah baik. Tapi meskipun aku telah duduk di sampingnya, dia masih tetap sibuk mengerjakan tugas Bahasa-nya yang belum selesai—aku sempat meliriknya. Ketua kelasku ini memang paling lemah di Bahasa.
            Sampai seribu tahun lagi pun aku duduk di sini, kurasa dia tak akan mau menoleh. Kutarik saja kursinya sampai menghadap ke arahku. Aku sempat melihatnya terkejut karena ulahku itu, namun dia langsung bisa menguasai ekspresi wajahnya.
““Apa-yang-kau-katakan-barusan?” Ku ulangi pertanyaanku sekali lagi sambil menatap mata cokelat miliknya lekat-lekat.
“Aku selalu merinding tiap kali berada di dekatmu. Maka itu, menyingkirlah dari hadapanku.” Jawabnya dengan wajah datar.
Aku tercengang mendengar perkataannya barusan, dia bisa mengucapkannya dengan sangat tajam dan sama sekali tanpa ekspresi. Membuat alis mataku terangkat beberapa saat. Tapi kemudian aku tersenyum, inilah Seo Yun. Ketua kelasku. Gadis yang sangat ketus.
“Aku juga tidak pernah ingin berlama-lama di dekatmu. Bisa-bisa aku mati beku di sini. Kau bahkan lebih dingin dari gundukan salju.” Kudorong kembali kursinya ke tempat semula. Lalu meninggalkan kursinya menuju kursiku yang ada di pojok kelas.
Teman-teman sekelas memandangiku dan juga Seo Yun penuh khawatir, bahkan beberapa ada yang menggelengkan kepala. Mungkin meraka pikir aku, si brengsek ini dan Seo Yun si ketua kelas, tak akan pernah bisa berdamai dan tidak ada yang bisa mendamaikan kami. Tidak satu pun.
Baru saja aku menghempaskan tubuhku ke kursi, kudengar Seo Yun berteriak ke arahku sambil mendelik. “Jong Hyun-ya! Kau membuang sampah di dekat mejaku! Cepat buang!”
Jujur saja, sebenarnya aku agak tersinggung mendapati sikap tak acuhnya padaku tadi. Maka ganti aku yang tak mengacuhkannya.
“Kau buang saja sendiri!” teriakku.
Kulihat Seo Yun mendengus, ia lalu memungut bungkus permen karet itu dan membuangnya ke tong sampah sambil mengusap-usap dadanya. Aku tidak sengaja menjatuhkannya di dekat meja Seo Yun, tapi melihat gadis itu marah-marah karenanya entah kenapa malah membuatku senang.
Saat istirahat tiba, aku membuka sebuah kantung snack—aku mendapatkannya dari para gadis bodoh yang memujaku. Aku lihat Seo Yun tidak keluar kelas, dia malah asik membaca novel terjemahan yang tebalnya bisa membuat mataku buta. Jika sudah begitu, aku yakin dia tidak akan ingat yang lain-lain. Termasuk mengisi perutnya.
Aku batal memakan snack yang baru kubuka. Mungkin sebaiknya aku beri saja snack ini padanya, maka aku menaruhnya di atas mejanya lalu berjalan keluar kelas. Makan mie ramen sepertinya lebih enak.
YA!! KAU BENAR-BENAR KETERLALUAN JONG HYUN! CEPAT BUANG SAMPAHMU!”
  Aku terlonjak kaget mendengar teriakan di belakangku. Oh ya ampun, Seo Yun sepertinya salah paham. Gadis itu terlalu keras kepala. Aku lalu menoleh ke arahnya sambil berkata, “Aku tidak membuangnya,” kemudia kuteruskan kembali langkahku.
Saat mencapai pintu kelas, aku mendengar gadis yang duduk di sebelah Seo Yun tertawa geli. . “Kau tidak juga mengerti ya? Seo Yun-ah… Jong Hyun-ssie menyukaimu.” Kudengar dia berkata seperti itu, nyaris membuatku mati terkejut. Bagaimana bisa dia berasumsi bahwa aku menyukai Seo Yun? Aku tidak menyangka jika seorang gadis bisa sangat menyeramkan.
“Diam kau, aku tidak butuh komentarmu.” Kudengar Seo Yun berkata dengan nada datar. Ya, mungkin kurasa sikapnya itu sekarang terlihat baik. Setidaknya dia tidak tertarik mendengarkan dugaan gadis di sampingnya itu. Tapi, mungkin memang aku menyukai Seo Yun. Hanya saja sebaiknya gadis itu tak perlu tahu.
***
Kusenderkan tubuhku ke dinding kelas, kedua kakiku kujulurkan ke atas meja. Kututupi wajahku dengan sapu tangan dan memulai untuk tidur siang. Tidak ada guru yang mengajar saat itu, jadi kurasa aku tidak akan menyia-nyiakan waktu begitu saja. Tapi tak lama, kudengar bel mejerit tanda pelajaran hari itu telah usai.
            Aku tetap bergeming. Menunggu sampai semua siswa pulang, baru kemudian aku menyusul. Sapu tangan yang menutupi wajahku tiba-tiba jatuh tertiup angin, aku membuka mataku karena silau. Tapi tak sengaja kulihat Seo Yun baru saja berdiri dari kursinya dan bergegas pulang.
            Entah apa yang kupikirkan saat tahu-tahu kakiku melangkah menyusul Seo Yun. Aku bisa melihatnya berjalan tenang menuju tangga di belokan kedua di ujung koridor. Susah payah kutahan diriku menyusul langkahnya, tapi entah kenapa tubuhku malah bersikap sebaliknya. Mungkin aku ingin mengucapkan selamat jalan? Atau pamit pulang? Entahlah. Aku hanya ingin berbicara dengannya.
            Saat tiba di depan tangga, aku refleks menjulurkan tanganku untuk memegang bahu Seo Yun. Tapi kulihat gadis itu sangat terkejut karena sentuhan tanganku, hingga ia kehilangan keseimbangan dan menggapai-gapai mencari pegangan. Aku tidak sempat menarik tubuhnya, karena tiba-tiba saja aku merasa sangat takut pada akibat yang baru saja kulakukan. Bisa saja Seo Yun jatuh terguling di tangga dan mengalami patah tulang?
            Akhirnya kulihat ia berhasil meraih selusur tangga. Seo Yun menoleh ke arahku sesaat kemudian, dan aku tertegun melihat matanya terbelalak seperti ketakutan.
"Apa yang kau lakukan? Kau nyaris membunuhku!"
            Aku benar-benar terhenyak mendengar teriakannya barusan. Demi Tuhan aku tidak bermaksud mencelakainya, apalagi membunuhnya. Tidak mungkin aku bisa membunuh gadis yang selama hampir satu tahun ini selalu memenuhi pikiranku. Kuraih tangannya untuk menenangkannya, namun Seo Yun menepis tanganku.
"Tadi kau ingin mencelakaiku, kan? Jika tidak berpegangan, maka aku akan jatuh terguling dan mati!" teriak Seo Yun lagi. Setelah itu ia memutar tubuhnya dan menuruni tangga secepat kilat.
Aku bahkan tidak bisa mengejarnya karena tiba-tiba saja otakku terasa kosong. Aku benar-benar shock atas kejadian itu. Aku benar-benar membuat gadis itu takut. Apa yang ingin kulakukan sebenarnya tadi? Aku juga tidak tahu, tapi aku sangat yakin aku bukan bermaksud mencelakainya. Sama sekali. Tidak melihatnya satu hari saja rasanya membuatku frustasi. Apalagi tidak melihat gadis itu untuk selamanya? Aku bisa gila.
Setelah bisa berpikir secara jernih, aku baru berjalan pulang. Tapi setelah kukendarai motor sport hitamku di jalan sekitar Namsan Park, aku malah berpikir tidak mau pulang. Ada sesuatu yang harus kulakukan.
Demi Tuhan aku tidak ingin kehilangan Seo Yun, kehilangan kesempatan untuk berbicara dengannya seumur hidup. Mungkin saja gadis itu sekarang sangat takut padaku, takut aku mencelakainya lagi. Dan aku yakin dia akan menghindariku dan tidak akan berbicara atau minimal memarahiku lagi. Aku bisa benar-benar gila memikirkan kemungkinan itu.
Aku baru saja memutuskan untuk menemui Seo Yun di rumahnya, entah bagaimana caranya aku harus memberitahunya bahwa kejadian tadi benar-benar salah paham. Tiba-tiba mobil di depanku yang awalnya melaju sangat kencang, mendadak berhenti dengan decitan rem yang sangat nyaring.
Sia-sia kuinjak pedal rem, karena segera saja motorku menabrak bemper belakang mobil itu sampai tubuhku terpelanting jauh. Aku tidak bisa merasakan apa-apa setelah itu, pandanganku buram. Wajah Seo Yun yang terlihat takut tiba-tiba muncul, namun segera hilang bersama hilangnya kesadaranku.
***
Entah apa yang membawaku ke sini, ke depan pekarangan rumah Seo Yun. Entah karena keinginanku yang kuat, atau rasa penasaranku, atau karena memang hanya dia saja yang terpikir olehku saat malaikat pencabut nyawa hendak mencabut nyawaku. Tentu dia—malaikat pencabut nyawa—tidak akan membiarkan aku mati penasaran. Mungkin.
            Aku terperangah saat jendela di hadapanku terbuka lebar, Seo Yun ada di baliknya. Berdiri persis di depanku. Betapa aku sangat ingin bertemunya seperti ini, menjelaskan semuanya. Namun sejak tadi walaupun aku berdiri di hadapannya, kurasa dia sama sekali tak melihatku. Berulang kali kucoba panggil namanya, bahkan lambai-lambaikan tanganku di depan wajahnya, tetapi dia tidak mengacuhkanku. Seo Yun malah memandangi bulan di langit dengan damai.
            Aku nyaris frustasi. Bagaimana bisa dia tidak mengenaliku? Atau paling tidak, menyadari keberadaanku? Kupandangi diriku sendiri, dan baru menyadarinya. Astaga! Aku sudah mati. Pantas saja Seo Yun tidak bisa melihatku. Aku merasa sangat sedih, bukan karena aku sudah mati, sama sekali tidak. Aku hanya tidak ingin mati sebelum bisa meyakinkan Seo Yun bahwa dia salah paham.
            Perlahan kuulurkan tanganku ke arahnya. Mencoba menyentuh bahunya, semoga saja dia bisa merasakan kehadiranku. Kumohon, Tuhan.
            Aku ikut terkejut saat tiba-tiba Seo Yun terlonjak kaget. Permohonanku dikabulkan, karena ia bisa merasakan sentuhan tanganku. Kulihat ia menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu ia mengatakan sesuatu yang membuatku tertegun.
            “Jong Hyun, kau-kah itu?”
            Ingin rasanya aku memeluknya, mengatakan bahwa aku ada di sini. Dan aku akan meminta maaf sebanyak yang ia mau dengarkan. Sungguh. Namun, sesaat kemudian kulihat Seo Yun menggelengkan kepalanya. Seolah menganggap pertanyaannya tadi benar-benar konyol. Ia lalu menutup kembali jendela di hadapanku.
***
Dari jauh aku bisa melihat sebuah bola baseball melambung tinggi, mengarah ke jendela yang ada di samping kursi Seo Yun. Aku berteriak sangat keras, memanggil nama gadis itu, menyuruhnya untuk menyingkir. Namun berakhir sia-sia. Bola itu menghantam kaca jendela hingga pecah belah. Syukurlah, Seo Yun sempat bersembunyi di bawah meja sebelum pecahan kaca itu melukainya.
            “A-aku… aku nyaris mati… ada yang ingin mencelakaiku.” Kudengar Seo Yun berkata lirih setelah teman-teman membantunya keluar dari bawah meja. Aku melihatnya sangat ketakutan. Oh, kumohon, jangan biarkan dia berpikir bahwa aku yang berusaha mencelekainya lagi.
            Sampai semua teman sekelas kami berhamburan pulang, kulihat Seo Yun masih bertahan di kelas. Kulihat ia masih takut atas kejadian tadi siang. Dan sepertinya ia memang mengira kalau aku-lah yang menyebabkannya dalam bahaya, sebab sepanjang hari ini dia berulang kali menoleh ke kursiku.
            Kucoba mendekatinya lagi, berusaha meyakinkan ia kalau aku ada bersamanya. Walaupun mungkin jika itu kulakukan ia malah akan mengira aku sedang menerornya, membuatnya takut dan kesalahpahamannya padaku semakin bertambah. Tapi aku tidak peduli, aku akan berusaha supaya ia bisa merasakan kehadiranku. Dengan begitu, aku akan lebih mudah memberinya penjelasan tentang kesalahpahamannya padaku, entah bagaimana pun caranya.
            Baru saja aku akan menyentuh bahunya satu kali lagi, Seo Yun mendadak terdiam. Tak lama ia menoleh ke arah kursiku. Harapan di hatiku segera terbit, mungkin saja dia memang bisa merasakan kehadiranku. Tapi lalu ia meraphikan buku-buku dan alat tulisnya secepat kilat, gadis itu kemudian bergegas pulang. Aku pun segera mengikutinya.
            Aku sempat melihat genangan air di anak tangga paling atas, tepat saat Seo Yun menginjaknya. Gadis itu segera kehilangan keseimbangan, aku berusaha setengah mati menggapai tubuhnya, menahannya agar tidak tertarik gravitasi bumi. Namun lagi-lagi berujung sia-sia. Seo Yun jatuh terguling membentur setiap anak tangga, dengan sangat sakit—meskipun aku tidak merasakannya langsung—kubiarkan tubuhnya berhenti sendiri di lantai yang datar.
            Tertegun aku melihat hidung Seo Yun mengeluarkan darah. Dia menyekanya dengan tangan kosong. Sambil menyeka hidungnya begitu, ia menatap berkeliling seolah mencari-cari sesuatu. Mungkinkah mencariku?
            A-aku… mohon… kau jangan mencelakaiku, Jong Hyun…” katanya serak.
            Aku benar-benar terterhenyak kali ini. Ternyata memang benar, ia menyangka aku yang melakukan semuanya. Aku sangat sedih, aku yakin Seo Yun pasti merasa sakit yang amat sangat, tapi aku tentu tidak menginginkan hal itu terjadi padanya. Tidak sama sekali. Aku justru ingin sekali melindunginya. Entah untuk alasan apa.  Saat kulihat air mata Seo Yun jatuh bergulir, rasanya aku bisa merasakan rasa sakit yang dia rasakan. Jika saja saat ini aku berwujud manusia, sumpah mati, aku akan memeluknya.
***
Seharian ini aku selalu menemani Seo Yun ke mana pun ia pergi. Aku merasa seperti tidak punya pekerjaan lain selain mengikutinya, karena memang apa yang bisa kulakukan? Ketika malam tiba, Seo Yun naik taksi dan turun di depan sebuah rumah sakit. Kupikir siapakah yang sedang sakit? Mungkinkah temannya? Aku mengikutinya saja.
            Seorang dokter keluar dari sebuah kamar rawat, sepertinya baru selesai memeriksa seorang pasien di kamar itu. Seo Yun serta merta langsung menginterogasinya. Kurasa.
“Temanmu tidak mengalami luka serius di tubuhnya. Hanya saja ia mengalami koma, sama sekali tidak bisa diprediksi kapan ia akan bangun lagi. Atau bisa jadi tidak akan pernah bangun lagi. Kami sudah mencoba yang terbaik untuknya.” Jawab dokter itu.
            Aku penasaran ketika Seo Yun tidak segera masuk melainkan mengintip dari celah jendela. Aku jadi ikut mengintip, walaupun bahkan aku bisa menembus dinding di depanku ini. Sesaat aku langsung tertegun. Aku menoleh menatap gadis di sampingku lagi dan kudapati dia sedang menangkup mulutnya dengan telapak tangan. Terlihat sama tertegunnya seperti aku.
            Yang berbaring sekarat di sana itu… aku!
            Aku pikir selama ini mungkin aku sudah mati. Agak aneh memang, karena tidak ada satu kabar pun yang mengatakan bahwa aku telah meninggal. Apa kata dokter tadi? Aku mengalami koma? Dan bisa jadi aku tidak akan bangun lagi? Bagus. Aku akan mati dalam keadaan penasaran betulan.
            Kembali aku tertegun saat menatap Seo Yun, air mata gadis itu mengalir jatuh sementara matanya tetap memandangiku dengan tatapan yang sulit kujelaskan. Beberapa saat kemudian dia menarik napas dalam-dalam dan menghelanya dengan keras, lalu setelah itu meraih handle pintu dan berjalan masuk.
            Entah mengapa tiba-tiba saja kenangan itu menyeruak hadir di pikiranku, saat pertama kalinya aku bertemu dengan Seo Yun. Saat itu aku sedang berjalan ke luar kelas, berniat bolos. Sementara Seo Yun berjalan masuk ke kelas. Mungkin ia baru saja memanggil guru. Menurutku gadis itu sangat cantik, hanya saja tatapannya terkesan dingin sekali.  Entah kenapa aku ingin sekali menyapanya.
Kau ketua kelasku? Kuharap kau tidak akan galak-galak padaku. Sebab, kau cantik.” Aku serius saat mengatakan hal itu. Tapi sepertinya dia mengira aku sedang merayunya. Aku segera berlalu dari hadapannya sebelum guru yang mengajar sempat menegurku. Tapi tiba-tiba seragam bagian belakangku seperti ditarik seseorang. Aku menoleh.
Kalau begitu kau harus menuruti perintahku. Cepat masuk kelas.” Kata Seo Yun, matanya menatapku dengan tegas. Entah kenapa aku merasa memiliki alasan untuk tetap pergi ke sekolah sejak itu. Aku membalas ucapannya dengan tersenyum, kemudian melangkah masuk kelas bersamanya.       
Setelah pertemuan pertama itu, aku selalu menuruti semua perintahnya sebagai ketua kelasku. Aku tidak lagi datang terlambat, tidak lagi bolos mata pelajaran apa-pun, mau mengerjakan tugas piket ataupun membantu Seo Yun saat disuruh oleh guru. Aku tidak pernah membiarkan tubuhnya yang imut itu mengangkat beban berat.
Tapi karena sikapku yang berubah menjadi anak baik itu, beberapa hari terakhir Seo Yun tidak pernah lagi mengacuhkanku, atau minimal marah-marah padaku seperti biasa. Aku rasa mungkin dengan aku berperilaku brengsek lagi, dia baru akan kembali marah-marah padaku. Bagiku, marahnya itu adalah suatu bentuk perhatian.
Aku tidak pernah melepaskan perhatian mataku dari Seo Yun. Dia itu gadis yang sangat tertutup, namun melihat senyumnya yang seperti sinar matahari rasanya seperti mendapat semangat baru. Aku pernah membuat dan melihatnya tersenyum, hanya satu kali. Kala itu aku sedang meniup permen karet menjadi sebuah gelembung, di tengah-tengah pelajaran yang membuatku bosan setengah mati. Seo Yun menoleh ke arahku, kupikir mungkin instingnya sudah sangat peka terhadap tingkahku. Aku nyengir padanya, tanpa sempat menahan mulutku untuk terus meniup permen karet itu. Akhirnya gelembung itu meledak, menempel di seluruh wajah dan sedikit mengenai rambutku. Aku merasa sangat idiot saat itu, namun melihat Seo Yun yang tertawa cerah di kursinya—menertawakanlu—aku merasa sangat tersengat. Entah dengan kata apa aku bisa mengekspresikannya.
Kulihat kini Seo Yun duduk di samping pembaringan ‘tubuhku’. Aku merasa tersiksa melihat matanya yang terus-menerus mengalirkan air mata. Ia memandangi wajahku tanpa berkedip, pancaran sinar matanya rasanya sangat sulit kujelaskan. Tiba-tiba ia mengangkat sebelah tangannya, menempelkan jari telunjuknya di luka memar yang ada di pipi kananku. Perlahan dan dengan sangat hati-hati ia menelusuri luka itu dengan telunjuknya, seolah tak ingin melukaiku.
Aku tertegun saat ia tak mampu lagi menahan isak tangis yang kurasa ditahannya sejak tadi. Ia lalu menyurukkan wajahnya di samping tubuhku. Demi Tuhan, aku tidak sanggup melihatnya. Tenggorokanku rasanya sangat sakit. Aku ingin memeluknya, sungguh sangat ingin memeluknya. Akankah aku bisa bertahan hidup?
“Jong Hyun pabbo,… bangun… kau tidak boleh terus-terusan tidur,” Seo berkata lirih di sela tangisnya. Dia angkat kembali wajahnya, kembali menatap wajahku.
“Maafkan aku… karena telah menuduhmu sembarangan…” katanya lagi. “Kau harus bangun… sebab jika tidak, kau harus janji akan membunuhku ya.”
Jangan bodoh! Aku tidak akan pernah bisa melakukan itu, Seo Yun, percayalah. Berulang kali aku mengatakan hal itu, tapi dia tentu saja tidak mendengarnya. Aku merasa sangat frustasi, lalu aku berteriak. Keras, dan  menggelegar. namun aku tahu tidak akan merubah apa-apa.
Aku duduk di samping Seo Yun yang perlahan mengulurkan tangannya untuk meraih tanganku. Ia menggenggam dan menjadikannya satu dalam genggaman tangannya sendiri. Didekatkannya tangan kami ke dagunya, dan menempelkannya di sana.
Saranghae…
            Aku terbelalak menatapnya mengucapkan satu kalimat itu dengan nada lirih.
Tiba-tiba seberkas sinar menyinariku, entah dari mana datangnya. Lalu menarik paksaku, membawaku entah ke mana. Pandangannku kabur, semuanya terlihat sangat silau. Mungkinkah, Tuhan memanggilku?          

Wednesday, May 23, 2012

Ghost Jong

AKU merinding tiap kali berada di dekatmu,” Seo Yun menatap Kim Jong Hyun sekilas. Lalu kembali sibuk mengerjakan tugasnya yang belum selesai. Dia tahu setelah itu mata tajam pemuda itu langsung menatapnya. Tapi dia tidak peduli.
“Apa yang kau katakan barusan?” Tanya Kim Jong Hyun, ia duduk tepat di samping gadis yang barusan mengatakan sesuatu padanya. Meskipun ia yakin ucapan itu tidak baik. Tapi Seo Yun, teman sekelasnya itu tidak mengacuhkannya sama sekali. Gadis itu tetap sibuk mengerjakan tugas. Dengan gemas ditariknya kursi Seo Yun sampai gadis itu menghadap ke arahnya.
“Apa-yang-kau-katakan-barusan?” Jong Hyun mengulangi pertanyaannya sekali lagi, ditatapnya mata cokelat milik Seo Yun lekat-lekat.
Dengan wajah datar Seo Yun berkata, “Aku selalu merinding tiap kali berada di dekatmu. Maka itu, menyingkirlah dari hadapanku.”
Jong Hyun tercengang beberapa saat, kedua alisnya terangkat. Tapi kemudian dia tersenyum.
“Aku juga tidak pernah ingin berlama-lama di dekatmu. Bisa-bisa aku mati beku di sini. Kau bahkan lebih dingin dari gundukan salju.” Katanya. Lalu mendorong kursi gadis itu ke tempat semula. Jong Hyun berlalu menuju kursinya yang berada di pojok kelas.
Teman-teman sekelas mereka yang menyaksikan hal itu hanya bisa geleng kepala. Jong Hyun si brandal memang selalu berseteru dengan Seo Yun si ketua kelas. Tak ada yang bisa mendamaikan mereka. Tidak satu pun.
“Jong Hyun-ya! Kau membuang sampah di dekat mejaku! Cepat buang!” teriak Seo Yun sambil mendelik ke arah Jong Hyun. Tetapi pemuda itu tidak mengacuhkannya.
“Kau buang saja sendiri!”
Seo Yun mendengus, dipungutnya sampah itu lalu dibuangnya ke tong sampah dengan menyabarkan hati. Kejadian selanjutnya saat istirahat tiba bahkan lebih parah dari itu, membuat Seo Yun tidak bisa lagi menyabarkan hatinya. Jong Hyun kembali membuang sampah, kali ini tidak di dekat mejanya. Tapi di atas mejanya langsung. Sampah itu berupa kantung snack yang masih berisi, isinya pun malah sedikit tercecer keluar.
            Seo Yun merasa kepalanya akan meledak. Dia lalu bangkit berdiri sebelum pemuda itu berlalu dari sisinya. “YA!! KAU BENAR-BENAR KETERLALUAN JONG HYUN! CEPAT BUANG SAMPAHMU!”
             Jong Hyun menatap Seo Yun datar. “Aku tidak membuangnya,” katanya, lalu berlalu ke luar kelas.
            Soon Hee tertawa geli melihat Seo Yun yang masih cemberut menatap kepergian Jong Hyun. Dia mengambil beberapa iris snack yang ada di atas meja temannya itu lalu memakannya. “Kau tidak juga mengerti ya? Seo Yun-ah… Jong Hyun-ssie menyukaimu.”
            Leher Seo Yun berputar cepat ke arah Soon Hee. “Diam kau, aku tidak butuh komentarmu.”
            Soon Hee tertawa geli lagi. “Sampai tua pun kurasa kau tidak akan pernah punya pacar jika tetap galak seperti itu.”
            Seo Yun hanya memutar bola matanya. Setelah itu matanya kembali terjun ke novel yang sedang dibacanya tadi. Dia tidak peduli pada ucapan Soon Hee. Yang benar saja! Jong Hyun tidak akan pernah menyukainya. Sejak bertemu pemuda itu, mereka tidak pernah akur. Satu kali pun. Selalu saja berselisih paham. Lagipula Jong Hyun sama sekali tidak terlihat seperti sedang menyukainya, malah sebaliknya. Dari tatapan matanya saja Seo Yun tahu, Kim Jong Hyun membencinya. Ya, benar. Dia pasti tidak salah.
***
Bel pulang baru menjerit beberapa waktu lalu, tapi hampir seluruh siswa di kelas Seo Yun sudah tidak terlihat batang hidungnya. Hanya tersisa seseorang selain dirinya di kelas saat itu. Seseorang yang selalu membuatnya ingin marah-marah.
            Diam-diam Seo Yun melirik Jong Hyun di kursinya. Pemuda itu ternyata sedang duduk bersandar ke dinding dengan kedua kaki terjulur ke atas meja, sebuah sapu tangan menutupi wajahnya. Sepertinya dia sedang tidur. Seo Yun menggelengkan kepalanya. Dia segera bergegas meninggalkan kelas sebelum pemuda sinting itu membuatnya marah-marah lagi.
Sepanjang koridor kelas terlihat sepi, hanya ada beberapa siswa yang masih bertahan di sekolah untuk mengerjakan tugas kelompok atau hanya sekedar mengobrol. Seo Yun berbelok di tikungan kedua untuk menuruni tangga, saat baru akan menginjak anak tangga paling atas tiba-tiba seseorang memegang bahunya. Membuat jantungnya nyaris mencelat ke luar.
Seo Yun terkejut sampai-sampai kehilangan keseimbangan. Tangannya meraih-raih sesuatu dan akhirnya ia bertopang pada selusur tangga. Gadis itu menoleh ke belakangnya, sesaat kemudian dia terbelalak.
"Apa yang kau lakukan? Kau nyaris membunuhku!"
Kim Jong Hyun terbelalak, "Ti-tidak! Aku tidak bermaksud seperti itu!" tangannya terulur hendak meraih tangan Seo Yun, tapi gadis itu menolak.
"Tadi kau ingin mencelakaiku, kan? Jika tidak berpegangan, maka aku akan jatuh terguling dan mati!" teriak Seo Yun. Setelah itu ia memutar badan dan menuruni tangga secepat kilat.
Astaga! Kim Jong Hyun ingin membunuhnya! Entah dari mana pikiran itu bisa merasuki otak Seo Yun. Tapi melihat tatapan mata Jong Hyun tadi saat di depan anak tangga, rasanya tidak mustahil. Demi Tuhan, jika tadi Seo Yun tidak berhasil meraih selusur tangga, dia yakin dirinya akan mati. Memikirkan hal itu kembali saja rasanya membuat Seo Yun nyaris mati ketakutan. Berulang kali dia menoleh ke belakang, takut jika pemuda itu berusaha mengikutinya.
Tapi ternyata perkiraannya salah. Kim Jong Hyun tidak mengikutinya. Seo Yun menghela napas lega sejenak, meskipun ia merasa sekujur tubuhnya masih gemetar ketakutan. Entahlah, esok akan seperti apa dia bersikap pada pemuda itu. Yang pasti dia tidak akan bisa menutupi rasa takutnya. Tidak akan pernah bisa.
***
Kim Jong Hyun tidak datang ke sekolah hari ini. Seo Yun tertegun saat mendapati dirinya merasa khawatir pada pemuda itu, sementara sisi lain hatinya masih merasa takut karena kejadian kemarin. Berkali-kali dia menoleh ke arah kursi Km Jong Hyun di sudut kelas paling belakang, namun pemuda itu tetap tidak terlihat sedang duduk malas seperti biasa.
            “YA! Kau mengkhawatirkan Jong Hyun-ssie?” tiba-tiba Soon Hee berteriak tepat di telinga Seo Yun, membuat gadis itu terlonjak kaget.
            “Myo? Aku sama sekali tidak mengkhawatirkannya!” Seo Yun memberengut. Dia kembali membaca ensiklopedi di hadapannya, walau tidak ada kata yang berhasil dicerna satu pun. Tapi begitu Choi Minho, salah satu teman sekelasnya  mengumumkan berita perihal Kim Jong Hyun tidak masuk hari itu, leher Seo Yun menoleh begitu cepat.
            “Ada berita duka datang dari keluarga Kim Jong Hyun. Putra mereka, Jong Hyun-ssie, kemarin sore masuk rumah sakit. Dia termasuk korban dalam kecelakaan beruntun di Namsan Park. Saat ini kondisinya sangat kritis…”
Seo Yun merasa telinganya berdenging kencang, suara-suara di sekitarnya tiba-tiba saja tidak tertangkap indera pendengarannya. Yang ada di benaknya sekarang hanyalah, bagaimana bisa Kim Jong Hyun kecelakaan? Setelah kemarin pemuda itu berusaha mencelakainya, dan sekarang justru dia yang mengalami kecelakaan. Mustahil.
Malamnya Seo Yun merasa sedikit menyesal karena ketika Soon Hee dan Lee Taemin mengajaknya menjenguk Kim Jong Hyun ke rumah sakit, dia malah menolaknya. Dengan alasan sedang tidak enak badan. Padahal sebenarnya dia ingin sekali menjenguk pemuda itu, ingin melihat sendiri dengan mata kepalanya bagaimana kondisi Kim Jong Hyun saat ini. Tapi kejadian kemarin masih dengan jelas menghantuinya, Kim Jong Hyun yang berusaha membunuhnya. Sejujurnya, dia yakin pemuda itu bukan bermaksud mencelakainya, mungkin dia hanya salah paham. Hanya saja dia merasa masih sangat takut. Entahlah.
Seo Yun membuka jendela kamarnya lebar-lebar, udara malam yang sangat dingin masuk perlahan ke dalam kamarnya, namun dia tidak peduli. Bulan bersinar terang saat itu. Seo Yun merasa hatinya sesaat terasa tenang menatap pekarangan rumahnya yang terkena bias cahaya bulan. Saat mendongak kembali ke arah langit, tiba-tiba Seo Yun merasakan sesuatu yang sangat dingin menyentuh bahunya. Ia terlonjak kaget. Buru-buru ia menoleh ke samping kiri dan kanan. Namun tidak ada apa-apa atau siapa-siapa. Detik berikutnya bulu kuduk Seo Yun meremang.
“Jong Hyun, kau-kah itu?” Seo Yun tertegun mendengar mulutnya sendiri mengucapkan pertanyaan seperti itu. Bagaimana bisa dia berpikir Kim Jong Hyun ada di kamarnya saat ini? Seo Yun menggeleng-gelengkan kepalanya, sepertinya otaknya mulai tidak waras. Dia lalu beranjak naik ke tempat tidur dan berbaring di sana.
***
Seo Yun menjerit tertahan saat tahu-tahu kaca di sampingnya pecah dan berhamburan mengenainya jika saja dia tidak buru-buru berlindung di bawah meja. Teman-teman sekelas juga sama terkejutnya, mereka segera berhamburan menghampiri Seo Yun.
            “Astaga! Kau tidak apa-apa?” Tanya Soon Hee dengan wajah panik, dia berjongkok untuk melihat Seo Yun yang masih berlindung di bawah meja. Dibantunya sahabatnya itu keluar dari sana.
            “A-aku… aku nyaris mati… ada yang ingin mencelakaiku.” ucap Seo Yun terbata-bata, tubuhnya masih gemetar ketakutan.
            “Itu hanya ketidak-sengajaan, Seo Yun. Klub baseball sedang latihan dan striker mereka meleset memukul bola.” Kata Kim Kibum yang tahu secara detail detik-detik sebelum kaca jendela di kelasnya pecah.
“Mau kuantar ke ruang UKS?” tawar Soon Hee, dia benar-benar cemas melihat kondisi sahabatnya itu.
Anniyeyo…” jawab Seo Yun sambil menggelengkan kepala.
Pulangnya, Seo Yun menolak lagi ajakan teman-teman sekelasnya untuk menjenguk Kim Jong Hyun. Dia malah tetap bertahan di kelasnya. Entahlah, ia merasa ingin tinggal lebih lama di sana. Diperhatikannya kursi Kim Jong Hyun di sudut kelas dengan wajah hampa, biar bagaimana pun Seo Yun tetap mengkhawatirkannya. Tapi kejadian tadi pagi sempat membuatnya berpikir kalau hal itu ada hubungannya dengan....
Astaga!
Mungkin saja itu perbuatan Kim Jong Hyun yang ingin mencelakainya. Saat ini mungkin ‘arwah’ pemuda itu sedang bergentayangan untuk balas dendam. Balas dendam karena selama ini Seo Yun selalu marah-marah dan bersikap buruk padanya. Demi Tuhan, pemikiran itu membuatnya takut setengah mati.
Tiba-tiba Seo Yun merasa bulu kuduknya berdiri. Refleks ia menoleh ke kursi Kim Jong Hyun yang ada di pojok kelas. Entah dari mana datangnnya keyakinan itu, tetapi Seo Yun yakin saat ini ‘Kim Jong Hyun’ ada di kelasnya ini, bersamanya. Dan ingin… mencelakainya. Dengan gerakan cepat Seo Yun merapihkan alat tulis dan buku-bukunya kemudian berdiri sambil memakai ranselnya. Dia berlari keluar kelas dan ingin secepatnya sampai di rumah. Tapi saat baru akan menuruni tangga, Seo Yun merasa tubuhnya limbung, ia kehilangan keseimbangan.
Seo Yun jatuh terguling menuju lantai dasar. Ia merasa sekujur tubuhnya sakit karena menghantam anak tangga yang terbuat dari keramik. Disekanya darah yang keluar dari hidungnya. Ia menatap berkeliling, seolah-olah bisa ditemukannya ‘Kim Jong Hyun’ di sana. Seo Yun merasakan air matanya jatuh bergulir.
“A-aku… mohon… kau jangan mencelakaiku, Jong Hyun…” katanya serak. Tapi tidak ada siapa-siapa di sekitarnya saat itu. Setelah merasa sedikit tenang dan air matanya berhenti mengalir, dengan terpaksa meskipun sakit Seo Yun memaksakan tubuhnya untuk berdiri dan berjalan pulang.
***
Melalui celah jendela, Seo Yun bisa melihat tubuh itu terbaring tak berdaya. Ada beberapa lilitan perban di bagian tertentu, sementara tampak di lehernya terpasang sebuah penyangga. Tanpa sadar, Seo Yun menangkup mulutnya dengan telapak tangan.
Ada kesedihan yang perlahan menjalari hatinya, kemudia rasa itu menjadi nyata saat kemudian air matanya mengalir tanpa bisa dicegah. Hampir satu minggu Kim Jong Hyun dirawat di rumah sakit dalam keadaan koma, tapi baru kali pertama ini Seo Yun menjenguknya. Dan ternyata keadaan pemuda itu benar-benar kritis.
   Setelah keyakinannya terkumpul dan memastikan bahwa dirinya sanggup mendekati pemuda itu, Seo Yun perlahan berjalan masuk. Matanya yang masih sembab terpaku lurus ke wajah Kim Jong Hyun yang tertidur dalam damai. Kembali rasa sedih itu menjalari hatinya dan kali ini ia sama sekali tak mencegah air matanya untuk jatuh bergulir.
Kau ketua kelasku? Kuharap kau tidak akan galak-galak padaku. Sebab, kau cantik.”
Tiba-tiba saja kenangan itu menyeruak hadir di mata Seo Yun, saat pertama kalinya ia bertemu dengan Kim Jong Hyun. Saat itu ia sedang berdiri di depan pintu untuk masuk ke dalam kelas, sementara Kim Jong hyun sebaliknya, berjalan keluar kelas. Pemuda itu berniat bolos jam pelajaran pertama. Tanpa bisa menahan dirinya sendiri, Seo Yun mengulurkan tangannya menarik seragam pemuda itu. Kim Jong Hyun menoleh.
Kalau begitu kau harus menuruti perintahku. Cepat masuk kelas.” Seo Yun mengira pemuda itu akan melawan, tapi ternyata… Kim Jong Hyun malah tersenyum. Lalu mereka masuk ke kelas bersama.
Sejak saat itu, sebrandal apa-pun Kim Jong Hyun, tapi menurut Seo Yun pemuda itu berusaha mematuhi semua perintahnya. Misalnya tidak lagi datang terlambat, tidak lagi bolos mata pelajaran apa-pun, mau mengerjakan tugas piket ataupun membantu Seo Yun saat disuruh oleh guru.
Tapi beberapa hari terakhir sikap Kim Jong Hyun kembali ke sedia kala. Pemuda itu jadi sering bolos mata pelajaran atau malah tidak masuk sekolah beberapa hari tanpa keterangan. Dia juga mulai tidak mau mengerjakan tugas piket dan datang terlambat. Suatu kali Seo Yun meminta bantuan pemuda itu untuk mengangkat sebuah Bola Dunia dari ruang guru, dia menolaknya tanpa berkata apa-apa. Seo Yun jelas jadi sangat kesal padanya. Gadis itu jadi sering marah-marah pada Kim Jong Hyun.
Walaupun Seo Yun sering marah-marah, sering berkata ketus, atau suka memerintah seenaknya, sebenarnya itu semua dia lakukan supaya dekat dengan Kim Jong Hyun. Hanya ingin mereka tetap berkomunikasi, meskipun secara negatif. Entah untuk alasan apa.
Pernah suatu ketika, Seo Yun terkena flu di musim dingin. Dia bersin-bersin sepanjang hari di kelas, dan lupa membawa muffler atau apalah, agar dirinya tidak terlalu kedinginan. Tanpa berkata apa-apa, Kim Jong Hyun saat itu langsung melepas jaketnya di depan Seo Yun. Saat ditanya Soon Hee kenapa dia melepas jaketnya itu, Kim Jong Hyun hanya berkata,
“Rasanya sedikit panas, aku keringatan.” Padahal bibir pucatnya sama sekali tidak bisa berbohong kalau dia pun sedang kedinginan.
Terlalu banyak hal-hal kecil yang Kim Jong Hyun lakukan, tapi berdampak besar bagi Seo Yun. Pemuda itu memang terlihat cuek, namun sebenarnya sangat baik hati. Tak ada yang sepertinya selama ini. Atau setidaknya begitulah menurut Seo Yun. Dan, bagaimana bisa Seo Yun menyangka pemuda itu ingin mencelakainya beberapa hari yang lalu?
Seo Yun mendesah, merasa begitu bodoh sekarang. Ia duduk di samping pembaringan Kim Jong Hyun. Menatap wajah pemuda itu lebih lama lagi. Ada luka memar di pipi kirinya. Tanpa sadar tangan Seo Yun terangkat untuk kemudian menyentuh luka itu dengan telunjuknya. Seolah mengusapnya penuh sayang, tapi tidak ingin menyakiti. Dia sempat bertanya pada dokter yang menangani Kim Jong Hyun, katanya pemuda itu tidak mengalami luka serius di tubuhnya. Hanya saja ia mengalami koma, sama sekali tidak diprediksi kapan ia akan bangun lagi. Atau bisa jadi tidak akan pernah bangun lagi.
Mengingat itu, rasanya Seo Yun ingin menjerit. Ketakutan yang perlahan menyergapnya benar-benar membuat tubuhnya mati rasa. Lebih dari rasa takutnya akan dicelakai Kim Jong Hyun seperti pikirannya beberapa hari yang lalu sekali pun. Bahkan, jika pemuda itu tidak akan pernah bangun lagi, Seo Yun merasa dicelakainya adalah hal yang menyenangkan, jika memang itulah satu-satunya cara untuk bertemu Kim Jong Hyun dan mengucapkan kata maaf.
Seo Yun tidak bisa lagi menahan air matanya menjadi isak tangis. Disurukkannya wajahnya di samping pembaringan Kim Jong Hyun.
“Jong Hyun pabbo,… bangun… kau tidak boleh terus-terusan tidu,” Seo berkata lirih di sela tangisnya. Berharap keajaiban datang atau apalah, sehingga pemuda di dekatnya ini bangun dan membuatnya marah-marah. Tapi tidak  ada yang terjadi. Dia angkat kembali wajahnya untuk menatap wajah Kim Jong Hyun.
“Maafkan aku… karena telah menuduhmu sembarangan…” katanya lagi. “Kau harus bangun… sebab jika tidak, kau harus janji akan membunuhku ya.”
Perlahan, Seo Yun mengulurkan tangannya meraih tangan Kim Jong Hyun yang terkulai lemah. Beberapa jarum infus tertancap di sana. Rasanya pasti sakit, pikir Seo Yun. Ia lalu menggenggam tangan pemuda itu, menjadikannya satu dalam genggaman tangannya sendiri. Didekatkannya tangan mereka ke dagunya, dan menempelkannya di sana.
Lirih Seo Yun berkata, “Saranghae…
           
           

Friday, May 11, 2012

First Love




--> Pertama kali liat sosoknya, dulu banget, waktu sama-sama masih ingusan. Kalo inget saat-saat itu kadang gue suka senyum-senyum nggak jelas sendiri. “Dia” di mata gue cuma anak kecil yang wajahnya masih polos. Tapi anehnya, hampir semua temen-temen gue suka sama dia. Saat itu, saat gue liat dia untuk yang pertama kalinya, gue cuma bilang, “Apa yang mereka liat dari dia? Nggak keren sama sekali.”
Gue nggak pernah tahu kalo kalimat itu bakal jadi bumerang yang bisa ngebunuh gue kelak.

Dua tahun berikutnya gue satu kelas bareng dia. Dia, yang di mata gue masih seperti pertama kali gue liat, masih tetap dipuja banyak cewek, dan terus terang gue nggak peduli tentang itu. Selama gue nggak menjadi satu di antaranya. Ya, mungkin. Gue berharap bisa jauh-jauh dari dia. Sampai akhirnya, Tuhan bikin rencana buat gue...

Gue nggak pernah nyangka sebelumnya kalo masa puber gue bakal semanis kayak di komik-komik. Setidaknya, begitulah menurut gue. Wali kelas gue nyuruh semua anak maju ke depan kelas, beliau mau ngatur pembagian tempat duduk. Dan dari situlah segalanya bermula. Saat gue sadar, dia udah duduk di kursi di depan gue.  Nggak sampe di situ aja, gue menjabat wakil ketua kelas. Sementara dia jadi Sekretaris pertama. Hahaha, terbalik =.="

Terus terang, sampe detik itu gue masih benci sama dia. Gue nggak suka sama sifatnya yang sok cuek. Hingga di suatu hari, ketua kelas gue nggak masuk karena sakit. Terpaksa gue yang gantiin tugas dia keperpustakaan untuk ngebagiin LKS ke temen-temen gue yang lain. Dan sialnya, yang seharusnya jadi tugas gue, jadi tugas "dia". Akhirnya kami berdua pergi ke perpustakaan sama-sama. Diem-diem, gue menghela napas panjang. Kenapa ketua kelas gue nggak masuk sih!?

Gue bosen lama-lama deket patung hidup. Cowok satu ini sok cuek banget. Jaim! Segala macam unek-unek di hati gue mulai bermunculan. Gue gregetan banget ngeliat sikapnya yang pendiem, seolah-olah di perpustakaan itu cuma ada dia dan buku-buku. Sementara gue ini nggak kasat mata. Ya ampun, gue makin heran aja kenapa banyak cewek suka sama dia. Tipe kayak gini sih, enaknya buat dijitakin rame-rame. Gue sendiri bukan tipe yang bisa lama-lama nggak berkomunikasi sama orang, maka akhirnya antara sadar dan nggak sadar, tiba-tiba stempel yang sejak tadi gue gunain buat menstempel LKS berpindah nempel di tangan dia. Meninggalkan jiplakan tinta lambang sekolah di sana. Gue kaget karena ulah gue sendiri itu. Takut-takut gue tatap dia yang juga lagi natap gue dengan wajah datar.

"Biar lo nggak diem mulu. Tanda kenalan." jawab gue sok cuek. Padahal dalem hati malu banget. Rasanya kepengen lari terus masuk ke toilet dan nggak keluar-keluar lagi. Tapi saat liat dia senyum untuk yang pertama kalinya, mendadak rasa percaya diri gue balik lagi. Akhirnya kami berjabat tangan untuk kenalan. Gue pikir, gue nggak akan pernah pengen deket-deket sama dia, tapi pada akhirnya malah kenalan. Konyol banget.






Monday, May 7, 2012

Profile Akris; Goo Hye Sun









I Know Nothing Else But Love

The moment you stood next to me
I liked the ways your eyes looked (at me)

Though I cried yesterday,
today because of you
My tomorrow will be happy.

Neither his face nor his style
I just needed his tender love

To forget all the time that has passed
I can now no longer do anything without you 






Pertama kali liat kemunculan Goo Hye Sun di drama Korea Boys Before Flower, gue langsung mengidolakan dia. Gadis multitalend ini bener-bener manis, cantik, lucu dan pintar. Kombinasi mematikan. Tentu aja gue pengen banget jadi kayak dia. Oh, bukan-bukan. Gue tetep jadi diri gue sendiri, tapi pengen berpacu seperti dia dalam berkarir dan banyak hal.

Sound Of Rain at Night adalah instrument yang paling gue suka dari semua intrument yang Goo Hye Sun ciptain. Ketukan pianonya begitu menyentuh, seperti ngerasain langsung berada di tengah-tengah hujan di malam hari. Walaupun kenyataannya saat dengerin instrument itu, gue malah berada di tengah-tengah hamparan rumput hijau bareng seseorang. Nggak nyambung banget.

Satu-satunya bakat Goo Hye Sun yang (mungkin) gue punya adalah menggambar anime. Bedanya, dia udah menerbitkan minimal satu komik berjudul "Tango" dan sepertinya laris dipasaran. Sedangkan gue cuma bisa menggambar demi melampiaskan mood labil, yang kadang baik, kadang jelek. Sama sekali nggak bisa dibanggakan :'(

Akhir-akhir ini gue lagi suka nonton drama The Musical, salah satu alasannya ya karena Goo Hye Sun yang jadi peran utama di drama itu. Di awal-awal scene, gue sempet takjub liat penampilan Goo Hye Sun dengan rambut panjangnya. Bikin iri setengah mati. Tapi nggak lama kemudian gue langsung kecewa begitu rambut dia dipotong pendek banget. Jadi bondol. Overall, tetep aja akting dia patut diacungi jempol ^^

Thursday, May 3, 2012

Review About SHINee



Selama beberapa bulan terakhir gue mulai cuek pada semua hal tentang SHINee, walaupun emang masih sering dengerin lagu-lagunya. Terutama Hello dan Romantic. Sampai suatu ketika gue lagi jalan bareng temen-teman gue demi nyari kado buat temen gue yang lainnya ultah, nggak sengaja gue denger lagu SHINee berkumandang dari toko kaset. Temen-temen gue mendadak kejang-kejang. Gue lebih parah. Niat beli kado batal, kita semua tiba-tiba belok kanan dan maju jalan grak! menghampiri toko kaset tersebut.
Gue emang sempet tau kalo SHINee udah ngeluarin album terbaru mereka, SHERLOCK. Tapi gue belum interested saat itu. Masih sekedar baca-baca info tentang pro dan kontra selama peluncuran album mereka.
Gue langsung beli kaset SHINee Sherlock begitu liat dari covernya aja udah keren banget. Setibanya di rumah gue setel kaset itu dan berulang-ulang kali gue putar sampe akhirnya tertidur. Malam itu rasanya indah banget, dan rasanya sempurna saat mereka hadir di mimpi gue.

Penampilan mereka di MV Sherlock bagi gue bener-bener keren abis! Terutama Kim Kibum alias Key, 10 jempol deh buat dia. Bisa nge-mix celana boxer jadi sebuah costum yang keren banget. Oke, gue emang cuma punya 4 jempol, sisanya gue minta jempol para pembaca blog ini. Semoga aja ada yang setuju. Semoga!
Kim Jong Hyun tetep jadi nomor 1 di hati gue. Mau apa atau bagaimana pun dia tetep keren di mata gue. Choi Minho still cool. Tubuhnya gue rasa makin tinggi, deh. Cara ngrappnya makin bikin gregetan, sampe gue ngerasa pengen ikutan ngrapp juga. Tapi gagal.
Lee Taemin cantik! Gue sebagai cewek jujur aja ngerasa minder kalah cantik dari cowok. TAPI! Begitu Taemin pakai pakaian cowok, ya ampun... gantengnya nggak tanggung-tanggung. Sempet mikir sih, kok Taemin serakah gitu? hehehe... peace oppa ^^
Onew tetep imut, tetep kayak malaikat jatuh dari langit, tetep kayak anak ayam yang baru menetas. Ah, denger suara dia di lagu Honesty rasanya bikin gue kepengen dinyanyiin sama Onew oppa tiap malem, sebagai pengantar tidur :D
Susah payah gue bercerita tentang SHINee ke semua orang, tentang kegilaan gue terhadap mereka, tentang gimana rasanya suka sama lagu-lagu mereka, gaya mereka, sampai ke pribadi mereka. Tapi orang-orang di sekitar gue malah nganggep gue aneh, lebay, mabok, atau apalah. Walaupun Kpopers udah menjamur di Indonesia, bukan berarti semua orang suka, kan?. Gue nggak peduli tentang hal itu.
Gue sendiri sebenarnya nggak tau kenapa bisa suka SHINee, sungguh suatu keajaiban. Orang-orang yang ngeliat kegilaan gue pasti nggak bakal ngerti gimana rasanya LIKE GETTING A NEW SPIRIT kayak yang selama ini gue rasain tiap kali dengar lagu-lagu SHINee. Nggak bakal pernah bisa ngerti.
Gue sempet ribut sama cowok gue gara-gara gue minta dia dengar Stranger-nya SHINee. Dia (cowok gue) bilang, sharing masalah lirik lagu nggak pa-pa, asal jangan paksa dia buat suka sama apa yang gue suka.
Kalo aja dia deket, udah gue cekek leher dia. Nyebelin banget, sumpah.
Emang sih, semua orang tuh pada dasarnya punya selera masing-masing. Hanya aja, terkadang gue kan pengen dia juga tau apa yang gue rasain di sini. Cowoknya temen gue juga sama, awalnya dia bilang nggak suka sama musik Pop Korea. Tapi diem-diem dia belajar ngerti perasaan ceweknya, coba dengar lagu MR.Simple-nya Super Junior. Ah, cowok gue payah!
Pada akhirnya mungkin gue mulai ngerti, emang seharusnya gue nggak boleh maksa seseorang untuk ngerasain apa yang gue rasain. Biar aja orang itu ngerasain perasaannya sendiri, yang mungkin aja intinya sama kaya perasaan gue.

5 Aktor Korea Ini Paling Cocok Perankan Bangsawan

Bagi seorang aktor, memerankan figur seorang bangsawan menjadi hal yang mudah saja. Namun, hanya beberapa di antara mereka yang dinila...