-->
Salju turun perlahan dari langit.
Keadaan di sekitar menara N Seoul terlihat sangat
pucat, seperti sudah lama tidak ditempati manusia. Udara sangat dingin saat itu,
hanya minus 9 derajat celcius, mampu membuat ujung kaki sampai ujung rambut terasa
beku. Kebanyakan warga Korea lebih memilih berkumpul di ruang keluarga yang
hangat bersama orang-orang yang mereka sayangi.
Tapi, sepertinya semua itu sama sekali tidak
berarti bagi Song Hye Sun. Gadis itu malah terlihat sangat gembira, ditengadahkannya
kedua tangannya tinggi-tinggi ke langit, membiarkan butiran-butiran salju tajuh
di telapak tangannya.
“Ya!! Jangan menangisiku jika saat kau menoleh lalu menemukanku mati
beku di sini,” ucap seseorang kesal di belakang Song Hye Sun.
Sambil tetap
menengadahkan kedua tangannya di udara, Song Hye Sun menoleh ke arah orang itu,
“Choi Minho sunbae, kau terlalu
berlebihan! Lihat! Salju ini indah,” gadis itu tersenyum lebar sambil
menengadahkan kembali kepalanya ke langit.
Choi Minho mendengus.
Dia rapatkan mantelnya berkali-kali, berharap rasa dingin bisa berkurang dari
tubuhnya, walaupun tahu itu hal sia-sia.
“Kajja, sunbae! Kita naik ke menara!” Song Hye Sun menarik sebelah
lengan Choi Minho yang bersembunyi di kantung mantelnya. Pemuda itu hanya
menghela napas panjang sehingga uap putih ke luar begitu banyak dari mulutnya.
Dia benar-benar kedinginan.
Ribuan gembok terlihat
seperti lebah, menghinggapi hampir seluruh pagar di sekitar menara N Seoul.
Sepertinya legenda ‘Locks of love” sudah menjadi tradisi sekarang. Choi Minho
menatap pagar di sampingnya. Gembok-gembok yang tergantung di sana bahkan beku
dilapisi es, terlihat sangat mengerikan baginya. Dan demi Tuhan, dia tidak mau
bernasib sama seperti gembok-gembok itu.
Sekali lagi Choi Minho
merapatkan mantelnya kuat-kuat. Tiba-tiba sesuatu melilit di lehernya,
membuatnya merasa sedikit hangat. Kepala Song Hye Sun menyembul dari arah
kanannya, gadis itu tersenyum lebar.
“Sepertinya kau lebih
membutuhkan muffler ini daripada
aku,” ia menepuk-nepuk punggung Choi Minho pelan. “Ayo cepat kita pasang gembok
kita di antara gembok-gembok itu,” Song Hye Sun mengaduk-aduk isi tasnya lalu
mengeluarkan gembok berwarna pink.
Tangan Choi Minho
terlurur saat Song Hye Sun akan mengaitkan gembok itu di pagar—entah di sebelah
mana, sepertinya sudah tidak ada tempat yang tersisa. “Tidakkah kau pikir ini
konyol?” tanyanya sambil menatap lurus gadis di hadapannya itu. “Takdir cinta itu
tidak bisa ditentukan oleh sebuah gembok, kau tahu?”
Song Hye Sun
mengerjapkan matanya sejenak, lalu ia tersenyum sangat lebar. “Aku juga
berpikir begitu! Tapi aku hanya ingin melakukan apa yang pernah dilakukan Kim
Jong Hyun di sini. Dia menuliskan harapannya demi Negara Korea di sebuah
gembok, lalu mengaitkannya di pagar menara ini. Dia penyanyi terbaik yang
pernah aku tahu!”
Choi Minho menghela
napas. Terus terang dia sangat tidak menyukai momen saat Song Hye Sun bercerita
panjang lebar tentang Kim Jong Hyun, penyanyi idolanya. Gadis itu bisa
melupakan segalanya jika sudah begitu. Seolah-seolah Kim Jong Hyun adalah orang
terpenting di Negara ini, bahkan di hidupnya.
Tiba-tiba saja Choi
Minho menarik lengan Song Hye Sun, menghapus jarak di antara mereka. Dilihatnya
pipi gadis itu pucat, sementara hidungnya memerah. Song Hye Sun bahkan tidak
menyadari dirinya sendiri kedinginan. Digenggamnya kedua tangan gadis itu lalu
didekatkannya ke mulutnya. Choi Minho mengeluarkan uap hangat dari mulutnya, mencoba
membuat telapak tangan gadis itu hangat.
Song Hye Sun menatap
Choi Minho lekat-lekat, perasaan hangat tiba-tiba mengaliri hatinya, kemudian
merambat perlahan ke sekujur tubuhnya. Tapi beberapa saat kemudian dia
terperangah karena Choi Minho tiba-tiba merampas gembok di tangannya, lalu membuangnya
jauh-jauh ke sembarang arah.
“Ayo kita pulang!
Sebelum kita mati beku di sini bersama-sama. Lupakan gembok itu,” pemuda itu
lantas menariknya berjalan.
계속 ....




s
